Temple khas Laos |
Beda negara otomatis beda budaya. Meskipun begitu, senegara
pun masi bisa punya beda pemikiran, meskipun memiliki budaya yang sama. Oleh
sebab itu, kadang aku lebih suka yang blak-blakan daripada harus pake basa basi
ato menggunakan pesan-pesan tersirat. Lain
padang kan lain ilalang yak.
Ketika aku sedang makan siang di Vientiene, Laos, aku
bertemu dengan seorang pria Switzerland yang sama-sama sedang makan sendirian. Ketika dia bertanya pada pemilik warung makan
apakah pisang yang di sediakan itu gratis, aku yang menjawabnya bahwa itu
memang gratis. Soalnya ketika dia tanya kepada si pemilik warung, pemilik
warungnya lagi sibuk jadi ga dijawab. Dia lalu menoleh ke arahku sambil
berkata, “aku suka sikap spontanmu”.
Menurutku sih, yang orang Indonesia ini, menjawab seperti
itu biasa aja. Tapi menurut pria itu, sikapku mengejutkan. Mungkin bukan hal
biasa di negaranya. Entahlah. Belum pernah hidup di Eropa.
Dari situ dia meminta ijin apakah boleh duduk di mejaku.
Menurutku itu bukan masalah. Dan akhirnya singkat cerita kita mulai akrab.
Bukan akrab yang gimana-gimana, akrab teman. Paling tidak, menurutku begitu.
Setelah makan siang, kita jalan-jalan ke tepian sungai
Mekong, kemudian ke sebuah taman yang cantik. Setelah itu kita berpisah untuk
janjian makan malam bersama. Dia bahkan sempat menunjukkan restoran dengan menu
ikan bakar yang menurutnya cukup lezat. Nah kita janjian untuk diner bareng
disitu nanti malam. Sounds like we’re planning a date? Mmmm sepertinya tidak.
Karena aku sering melakukan hal yang sama
dengan teman pria ku yang lain.
Setelah dia mengantarku ke hostel *ceileh pake diantar yak,
iya dia ngantar ke hostel karena malemnya kan mo diner bareng, dia berencana
mau jemput aku di hostel sebelum ke restoran itu.
Baiklah, singkat cerita aku mandi dan bersiap-siap untuk
diner. Aku sempat melirik sekilas bahwa sepertinya roomate ku laki-laki semua.
Ada beberapa pemuda pirang yang duduk di bunk bed bawah, sedangkan bunk bedku
ada diatas. Tiba-tiba ketika aku turun ke bawah, sedang menuruni tangga bed
tingkat yang kecil itu, kipas angin mengarah kepadaku. Tentu saja aku yang pada
waktu itu mengenakan dress pendek harus memegang rokku agar tidak terbuka kena
angin, dah persis kayak Marylin Monroe haha. Kemudian aku menyadari pemuda
pirang yang duduk di bunk bed bawah menatapku tanpa berkedip. Merasa
tersinggung aku menghardiknya dengan kasar, “what you looking at!”.
Dia kaget, hanya menggelengkan kepala dan berkata, “nothing”.
Kemudian melengoskan pandangannya ke arah lain. Aku menyadari mungkin aku agak
kasar. Aku merasa lelah setelah di Thailand sering bertemu pria yang mencoba
flirting, mulai dari penjaga tas, kasir mini market, petugas stasiun, sampe
polisi perbatasan. Temanku sering bilang, kalo aku sering di goda karena
wajahku yang kelewat ramah dan rajin senyum. Jadi selepas dari Thailand, aku
mencoba memasang tampang garang, terutama yang menurutku kurang sopan.
Ketika aku kembali ke bed ku, aku melihat seorang pria afro-amerika
yang baru bangun dari tidurnya di bed-nya yang kebetulan bersebrangan dengan
bed ku. Aku ingat pria itu, kita sama-sama melewati perbatasan dengan
menggunakan kereta malam dari Bangkok. Kita berada di gerbong yang sama,
menggunakan hard sleeper di bed atas, bersebrangan denganku. Aku mengingatnya
karena kakinya yang panjang sekali itu tidak muat masuk ke dalam sepetak bed
yang sempit, dah mirip kayak kapsul tidur.
Dia membuka mata, dan tersenyum ketika melihatku. Ya karena
pada saat itu aku sedang melihatnya, takjub, kali ini kita bersebrangan bed
lagi haha. Kalo semalam kami bersebrangan bed di kereta, malam ini kita
bersebrangan bed di hostel. Kok kayaknya dunia jadi berasa sempit banget.
Seperti kuduga, dia seorang afro-amerika yang berprofesi
sebagai DJ. Yang menghabiskan setengah tahun hidupnya untuk bekerja dan
setengah tahun untuk traveling. Dia sungguh sungguh sungguh pria yang ramah,
friendly dan easy going. Dia juga suka tertawa. Dalam sekejab saja, kita
menjadi akrab. Lantas dia bertanya padaku, suda rapi memangnya mau kemana. Ku
bilang, kalo aku mau makan malam ikan bakar di sebuah resto dekat sini. “mau ikut?”,
tanyaku basa basi. Dan jawabannya sungguh diluar dugaan, “tentu”.
Tiba-tiba beberapa pemuda pirang masuk ke kamar, termasuk
pria pirang yang ku hardik tadi. Si pria Amerika ini dengan semangat 45 bersorak
pada mereka yang sebetulnya belum dia kenal, “apakah kalian mau ikut makan
malam bersama kami? Kita mau makan ikan bakar malam ini! Yeay!”.
Dan tak di duga juga dong, keempat pria itu tak butuh waktu
lama untuk bilang “setuju”. Sepertinya mereka memang sudah bosan berada di
hostel ini dan kota ini, nothing to do. Ajakan makan malam bersama, pastinya
akan lebih menyenangkan. Aku sempat
bertanya pada mereka, apa yang membawa mereka kemari, apa yang menarik dari
kota ini. Mereka kompak menjawab tidak tau. Bahkan mereka tidak melakukan
apa-apa di kota ini. Tempat transit sepertinya, sama seperti aku. Selain alasan
lain untuk melarikan diri dari winter di eropa, dan juga perpanjang visa dan
memperpanjang ijin tinggal di Thailand. Alasan lain yang memperkuat untuk
kemari ialah, betapa murahnya biaya
hidup disini, apalagi bir lokal, bir Lao.
Ok, pada akhirnya aku membawa total 5 pemuda untuk bergabung
makan malam bersama. Makin rame makin meriah kan. Hingga tiba waktunya si
Switzerland menjemput, dan terkejut ketika aku mengatakan bahwa ada 5 pria
lainnya yang akan ikut bersamaku. Di
luar dugaan raut wajahnya berubah, entah kecewa entah apa, lalu dia bilang, dia
batal ikut. Giliran aku yang terkejut.
Dia memintaku untuk memilih, makan berdua saja dengannya
atau bersama kelima pemuda ini. Dan aku lebih memilih makan bersama kelima
pemuda ini. Aku ga punya alasan untuk hanya makan berdua saja dengannya. Aku
mengganggap dia sama seperti kelima pemuda ini. Lucunya, kelima pemuda ini
tidak tau apa yang terjadi haha.
Yang jadi masalah adalah yang tau restoran dengan menu ikan
bakar enak itu ya si pria Switzerland, lah dianya aja batal ikut
sodara-sodaraaaa. Memang si dia sempat nunjukkin resto itu sebelumnya. Tapi kan
aku lupaaaa. Uda malem gini, model semua restonya sama, berjejer di hadapan
sungai Mekong dengan menu yang kurang lebih sama jugaaaaa.
Jadi yaaa aku berinisiatif aja gitu muterin semua resto
sampe lamaaaa banget ampe capek jalan. Tapi kok ya aku gagal ingat yang mana
restonya. Sampe akhirnya aku pilih resto sembarang aja, yang penting ada ikan
bakarnya wakkkk.
Pada akhirnya aku kencan sama kelima pemuda ituh, yang
keempatnya masi pada berondong, masi belas-belasan gitu umurnya, ya eyalah baru
lulus sma, seumuran ma adek sayah. Tapi pola pikir dan cara bicara mereka jauh
lebih dewasa loh. Jadi seneng waktu ngobrol sama mereka, apalagi si
afro-amerika yang hobinya bikin lelucon.
Tiba-tiba si bule yang super pirang, mirip kayak rambutnya
mba barbie *sumpah deh eye catching banget tu warna rambut,mukul jidat gueeee.
Gue nya yang shock gitu. Dia bilang, “ada binatang”. Whatttt! Ga juga kale lu
main tabok-tabok ajaaa, gue pan perempuaannn. Dan menurut budaya mereka yang
orang Jerman, itu sah-sah aja gitu. Jadi gue jelasin, kalo di negara gue paling
ga bilang permisi dulu sebelum mukul, biar si perempuan ga kaget gitu loh. Tapi
ujung-ujungnya kita jadi debat, gimana kalo tu binatang terlanjur gigit jidat
gue duluan pas lagi bilang permisi, kan kelamaan. Tapi gue juga kekeeeeuuhhh
bilang kalo itu ga sopaaannn, apalagi di depan orang banyak kayak begene. Kan
si wanita bisa merasa terluka harga dirinya #model cewek asia banget deh.
Pada akhirnya sih, si Jerman minta maaf kalo menurut cewek
asia itu ga sopan. Tapi dia menjelaskan kalo itu maksudnya ingin melindungi
dari binatang itu. iye iye, aye ngerti. Ngomong-ngomong soal kata ‘maaf’, aku
melirik ke cowok pirang satunya yang ku hardik tadi siang. Aku minta maaf ke
dia, karena suda berkata kasar tadi sore. Eh dia lempeng aja cuma bilang “never
mind”. Ya iyalah Lenny, emangnya lu ngarep dia bilang apa. Padahal ni cowok
pirang yang paling jangkung diantara yang lain, uda gitu ternyata orangnya
kocak, tapi dia gak pernah ngerasa lagi ngelucu. Teruuuuss ga minum alkohol dooonngg #perlu dicatat itu,
langka haha.
Kemudian setelah makan malam selesai dan muter-muter night
market, kita beranjak pulang ke hostel. Biasanya mereka membiarkanku menuntun
jalan. Mereka cuma bagian ngintil, dah kayak anak ayam. Waktu pulang si pirang
ngajak untuk lewat jalan di samping resto tempat kita diner tadi. Alasannya si
mau sekalian cari agent tour buat ke China. Ya udin, kita ikutin aja. Taunya
belakangan kita sadari kalo jalan dari sebelah resto itu tegak lurus sama
hostel kita nginep! Cuma jalan beberapa menit aja suda sampe. Si pirang
langsung menoleh ke arah gue dengan mata menyipit dan wajah protes, “jarak dari
resto ke hotel sangat dekat, lalu ngapain tadi kamu bawa kita muter berjam-jam
sampe capek untuk ke resto itu Lennyyyyyyy?!”
#lu ga tau apa apaaaaaaa, buat milih salah satu resto disitu
aja gue kudu berpikir keraaassss piraaaaanggggg!!!
1 comments:
Nice story...
Post a Comment