Translate

Powered by Blogger.

About Me

My Photo
Biografi ‘Ubur-ubur’: Cewek cuek yang hobi keluyuran dan susah dicari karena suka menghilang seenaknya.Sering banget diomelin teman,sahabat, en ortu karena hobinya yang menurut mereka riskan. Seorang kuli (karena blom jadi bos) yang terkadang menulis tentang cerita perjalanannya hanya karena dia pelupa dan takut memori di otaknya sudah full. Baginya jika buku adalah jendela dunia maka perjalanan adalah pintu dunia.
 

Monday, February 16, 2015

Terjebak Badai dari Pulau Tarupa Ke Pulau Tinabo (Perjalanan ke Kepulauan Takabonerate Part 1)

1 comments
“Isa, aku takut…”, ucapku lirih.

Isa bergeser duduk di sebelahku menenangkan sambil berujar dengan logat bugisnya yang khas, “Tidak usa takut mi, ini uda biasa”.

Isa sebenarnya masih berusia 12 tahun, seorang gadis remaja bertubuh padat yang tangguh, berusaha menenangkanku yang lebih dari 2x lipat usianya. Awalnya aku menganggap dia seperti adik, tapi semakin kesini aku semakin yakin kalo dia lebih cocok jadi kakakku.

Just sit and watch babies shark around the beach. Pulau Tinabo.

Entah sudah berapa lama kami terombang-ambing di lautan, melawan ganasnya ombak di tengah hujan deras dan kilat menyambar-nyambar. Seharusnya perjalanan dari  pulau Tarupa kecil ke pulau Tinabo hanya sekitar setengah jam-an. Tapi di tengah badai seperti ini, rasanya sungguh sangat panjang.

Aku membuka pintu kecil tempat dimana aku dan Isa melindungi diri dari terpaan hujan dan ombak diluar, sebuah dek sempit yang biasanya juga digunakan untuk penyimpanan barang. Aku berusaha mengintip bapak, yang bersusah payah mengendalikan perahu kayunya ditengah terjaan ombak tinggi dan hujan. Pak Akbar namanya. Seorang bapak baik hati yang juga memiliki keluarga yang berjiwa mulia. Sungguh mengintipnya seperti ini, melihat ekspresinya yang berusaha sekuat tenaga agar kami bisa selamat, ketakutanku pun sirna. Aku kering dan terlindungi di dalam sini, dan dia diluar sana…Aku merasa iba sekaligus bersalah. karena keegoisanku, aku membuat pak Akbar dan Isa harus terjebak disini, demi mengantarku ke pulau Tinabo, di tengah malam buta. Sesaat ingin rasanya aku menangis.

Isa menawarkan handphonenya agar pikiranku teralihkan. Handphone polyponic kecil miliknya memiliki banyak koleksi video. Mulai dari video-video lucu, rekaman anak kecil di kampungnya yang pintar joget, sampai video klip lagu-lagu india yang memang sangat populer di kalangan penduduk pulau Tarupa kecil. Meskipun kualitas gambar hanya VGA, handphone seperti ini adalah hiburan dan pelipur lara bagi penduduk di pulau terpencil seperti ini. Karena listrik hanya ada dikala malam, itupun hanya beberapa jam saja. Ditambah tidak ada sinyal handphone, jadi handphone di pulau ini bukan berfungsi sebagai alat komunikasi, tapi sebagai pemutar video dan pemutar musik india kencang-kencang di siang hari.

Lihat! Pulau Tarupa Kecil.

Ku lirik wajah Isa sesaat. Di wajahnya juga tergambar rasa khawatir yang berusaha ditutupinya. Aku menerima tawarannya. Ku buka satu persatu video yang tersimpan di dalamnya. Dan aku pun terhibur. Bahkan aku mengirim beberapa video yang menurutku menarik ke handphoneku.

Setelah semua video  di handphone Isa ku tonton, ternyata badai masi belum usai. Ketakutanku pun mulai kembali. Mungkin Isa bisa membacanya dari wajahku.  Lagi-lagi ia berusaha menangkanku dengan menyuruhku untuk tidur. Dia bilang, dia akan membangunkanku ketika sudah sampai di pulau Tinabo.

Pikiranku berkata, meskipun ini tengah malam, bagaimana aku bisa tidur dengan ombak yang menghantam keras kapal, serasa berada di dalam ayunan yang digoyang sangat kencang. Bahkan beberapa kali air masuk ke dalam dek kecil ini lewat jendela kecil yang dihantam ombak laut. Beruntung aku bukan tipe yang gampang mabok. Pasti akan merasa seperti siksaan berlipat jika terjebak dalam kondisi ini.

Lagi-lagi ku lirik Isa. Aku tidak ingin menambah kekhawatirannya dengan kegelisahanku. Aku menurutinya, aku membaringkan tubuhku sekenanya di area sempit ini. Tidak ada pilihan lain selain tidur dengan cara melipat kaki. Isa lantas melakukan hal yang sama, berbaring di sebelahku. Aku coba memenjamkan mata, sembari berharap jika memang nanti aku ketiduran, aku tidak terbangun dalam keadaan mulai tenggelam di laut.

Isa bersama keponakan kecilnya. Isa susaaah banget diambil fotonya, maen kabur2an

Ketika mataku terpejam, aku memikirkan banyak hal. Teringat akan ibu, istri pak Akbar, bersama putrinya yang paling kecil mengantarku hingga di dermaga pada larut malam. Tersenyum dan melambaikan tangannya padaku. Dia seperti melepas kepergian putrinya sendiri. Tak lupa dia membawakan aku berbagai makanan dan minuman dari warung kecilnya. Ia juga membuatkanku kue sebagai bekal di jalan. Padahal dia sudah membawakanku terlalu banyak bekal untuk ku makan seorang diri. Melepas kepergianku di dermaga, dia menangis. Aku pun sedih. Tapi aku harus pergi, aku harus pulang.

Tuhan memang sangat baik, mempertemukanku dengan keluarga yang sangat luar biasa ini. Yang kini menjadi keluarga angkatku.

Tiba-tiba aku teringat bapak di luar sana. Bagaimana cara bapak menemukan arah ke pulau Tinabo. Di luar hujan deras, tidak bisa melihat bintang. Yang terlihat diluar sana hanya kegelapan. Aku membayangkan, pasti mengerikan berada di luar sana. Melihat sendiri ganasnya ombak. Melihat bagaimana kapal kayu ini berjuang. Tidak ada yang membantu bapak. Bapak berjuang melewati badai ini sendirian. Begitulah pelaut. Begitulah tinggal di kepulauan.

Kemudian pikiranku pun beralih. Bagaimana aku bisa sampai ada disini, bagaimana aku mengenal keluarga pak Akbar, dan mengapa kita harus melaut di tengah malam buta. 

Seminggu yang lalu…

Aku berjalan ke sebuah pelabuhan yang tak jauh dari alun-alun kota Benteng, pulau Selayar. Aku bertanya-tanya kepada para pemilik perahu yang bersandar di pelabuhan itu, apakah ada perahu yang akan berlayar ke kepulauan Takabonerate. Kepulauan Takabonerate itu banyak, aku tahu itu. Aku sendiri tidak yakin pulau apa yang ingin ku datangi, karena minimnya info mengenai kepulauan itu. Sampai-sampai aku tak bertemu satupun turis yang memiliki tujuan yang sama denganku. Tidak ada perahu reguler menuju ke kepulauan itu. Bayangkan saja jika berniat untuk sewa perahu kesana perlu biaya berapa. Sekali perjalanan saja butuh waktu hingga minimal 7 jam lamanya dalam cuaca normal. Sangat tidak bersahabat dengan kantong saya. Tidak ada cara lain selain mencari kapal penduduk lokal yang ingin pulang ke rumahnya di kepulauan Takabonerate. Jadi, aku harus menanyakannya satu per satu.

Sangking banyaknya pulau di ujung selatan pulau Sulawesi ini, aku hampir saja nyasar ke pulau lain kemarin. Karena nama pulaunya sangat mirip, yaitu pulau Bonerate. Yang ternyata membutuhkan waktu 12 jam naik perahu dari pelabuhan di Benteng ini. Dari situ aku baru tau, jika kata ‘taka’ pada nama kepulauan Takabonerate adalah terumbu atau karang dari bahasa lokal. Jadi kepulauan Takabonerate adalah kepulauan dengan gugusan karang. Bahkan di wikipedia mengatakan, Taman Nasional Taka Bonerate ini merupakan taman laut yang memiliki kawasan atol terbesar ketiga di dunia. Tapi sayang, entah karena promosinya yang kurang atau transportasinya yang sulit, hingga kepulauan cantik ini kurang dikenal masyarakat luas. Terutama bagi para traveler. Karena banyak dari mereka yang kutanya, tidak tau keberadaan kepulauan ini. Padahal pada akhirnya aku mengetahui, bahwa setiap tahun pemerintah setempat selalu rutin mengadakan acara di kepulauan ini dalam rangka mengenalkannya pada masyarakat luas.

Seperti mengarungi kolam renang bening yang sangaaaatt luas

Adiknya Isa. Sama susahnyaaa kalo dipoto.

Setelah beberapa kali bertanya, seorang nakhoda kapal menyarankanku untuk bertanya pada sekumpulan kapal- kapal kayu kecil yang bersandar agak dipinggir pelabuhan. Sejenak aku terdiam memperhatikan kapal-kapal itu, “kecil sekali”, dalam hatiku. Aku pun melangkahkan kakiku kesana. Tidak semua dari kapal itu ada penghuninya. Aku sempat bertanya pada sebuah kapal yang ada orangnya, tapi katanya kapal sudah penuh. Kemudian aku bertanya pada kapal kecil lainnya, dijawab kalo pemiliknya masih keluar, disuruh tunggu hingga kembali. Aku pun duduk di pinggir dermaga. Menunggu.

Setelah sang pemilik kapal kembali, aku bertanya apakah aku boleh menumpang ke kepulauan Takabonerate. Sang pemilik kapal tertegun sejenak, mungkin memperhatikan penampilanku, kemudian bertanya, “mau ke pulau apa?”.
Aku balik bertanya, “kapal bapak mau ke pulau apa?”
Dia memandangku lagi sejenak,”kamu mau ke Takabonerate ada sodara?”
“Ga ada”
Dia terkejut, “Lalu ada urusan apa kesana?”
“Jalan-jalan”, jawabku singkat.
“Berapa orang?”
“Saya sendiri”
Dia memandangku lagi seolah tak percaya, hingga kemudian berkata, “Saya mau ke pulau Tarupa, mau ikut kesana?”
“itu termasuk kepulauan Takabonerate kan? Kalau iya, aku ikut ke pulau itu”
“Iya. Kalau begitu besok pagi jam 7 kamu sudah datang kesini ya”
“iya”, jawabku girang. “mmmm ngomong-ngomong pak, saya harus bayar berapa?”
“Tidak usah”, jawabnya.

Wow. Tentu saja girangku berlipat-lipat. Bagiku bisa mendapatkan transportasi kesana sudah sangat beruntung, ditambah lagi tanpa biaya apapun.

Sang pemilik kapal itu adalah pak Akbar. Dia lah malaikat penolong ku. Yang pada akhirnya membawaku pada keberuntungan-keberuntungan lain di kepulauan cantik itu.

Aku selalu bertemu senja indah di kepulauan ini


Bersambung Takabonerate part 2


1 comments:

Anonymous said...

kak.. kamu keren sekali ya..
aku baca ceritamu rasa rasa aku pengen lakuin juga, tapi seperti nya gak seberani kamu kak :D

 

Followers