Isa bergeser duduk di sebelahku menenangkan sambil berujar
dengan logat bugisnya yang khas, “Tidak usa takut mi, ini uda biasa”.
Isa sebenarnya masih berusia 12 tahun, seorang gadis remaja
bertubuh padat yang tangguh, berusaha menenangkanku yang lebih dari 2x lipat
usianya. Awalnya aku menganggap dia seperti adik, tapi semakin kesini aku
semakin yakin kalo dia lebih cocok jadi kakakku.
Just sit and watch babies shark around the beach. Pulau Tinabo. |
Entah sudah berapa lama kami terombang-ambing di lautan,
melawan ganasnya ombak di tengah hujan deras dan kilat menyambar-nyambar.
Seharusnya perjalanan dari pulau Tarupa
kecil ke pulau Tinabo hanya sekitar setengah jam-an. Tapi di tengah badai
seperti ini, rasanya sungguh sangat panjang.
Aku membuka pintu kecil tempat dimana aku dan Isa melindungi
diri dari terpaan hujan dan ombak diluar, sebuah dek sempit yang biasanya juga
digunakan untuk penyimpanan barang. Aku berusaha mengintip bapak, yang bersusah
payah mengendalikan perahu kayunya ditengah terjaan ombak tinggi dan hujan. Pak
Akbar namanya. Seorang bapak baik hati yang juga memiliki keluarga yang berjiwa
mulia. Sungguh mengintipnya seperti ini, melihat ekspresinya yang berusaha
sekuat tenaga agar kami bisa selamat, ketakutanku pun sirna. Aku kering dan
terlindungi di dalam sini, dan dia diluar sana…Aku merasa iba sekaligus
bersalah. karena keegoisanku, aku membuat pak Akbar dan Isa harus terjebak
disini, demi mengantarku ke pulau Tinabo, di tengah malam buta. Sesaat ingin
rasanya aku menangis.
Isa menawarkan handphonenya agar pikiranku teralihkan.
Handphone polyponic kecil miliknya memiliki banyak koleksi video. Mulai dari
video-video lucu, rekaman anak kecil di kampungnya yang pintar joget, sampai
video klip lagu-lagu india yang memang sangat populer di kalangan penduduk
pulau Tarupa kecil. Meskipun kualitas gambar hanya VGA, handphone seperti ini
adalah hiburan dan pelipur lara bagi penduduk di pulau terpencil seperti ini.
Karena listrik hanya ada dikala malam, itupun hanya beberapa jam saja. Ditambah
tidak ada sinyal handphone, jadi handphone di pulau ini bukan berfungsi sebagai
alat komunikasi, tapi sebagai pemutar video dan pemutar musik india
kencang-kencang di siang hari.
Lihat! Pulau Tarupa Kecil. |
Ku lirik wajah Isa sesaat. Di wajahnya juga tergambar rasa
khawatir yang berusaha ditutupinya. Aku menerima tawarannya. Ku buka satu
persatu video yang tersimpan di dalamnya. Dan aku pun terhibur. Bahkan aku
mengirim beberapa video yang menurutku menarik ke handphoneku.
Setelah semua video di
handphone Isa ku tonton, ternyata badai masi belum usai. Ketakutanku pun mulai
kembali. Mungkin Isa bisa membacanya dari wajahku. Lagi-lagi ia berusaha menangkanku dengan
menyuruhku untuk tidur. Dia bilang, dia akan membangunkanku ketika sudah sampai
di pulau Tinabo.
Pikiranku berkata, meskipun ini tengah malam, bagaimana aku
bisa tidur dengan ombak yang menghantam keras kapal, serasa berada di dalam ayunan
yang digoyang sangat kencang. Bahkan beberapa kali air masuk ke dalam dek kecil
ini lewat jendela kecil yang dihantam ombak laut. Beruntung aku bukan tipe yang
gampang mabok. Pasti akan merasa seperti siksaan berlipat jika terjebak dalam
kondisi ini.
Lagi-lagi ku lirik Isa. Aku tidak ingin menambah
kekhawatirannya dengan kegelisahanku. Aku menurutinya, aku membaringkan tubuhku
sekenanya di area sempit ini. Tidak ada pilihan lain selain tidur dengan cara
melipat kaki. Isa lantas melakukan hal yang sama, berbaring di sebelahku. Aku
coba memenjamkan mata, sembari berharap jika memang nanti aku ketiduran, aku
tidak terbangun dalam keadaan mulai tenggelam di laut.
Isa bersama keponakan kecilnya. Isa susaaah banget diambil fotonya, maen kabur2an |
Ketika mataku terpejam, aku memikirkan banyak hal. Teringat
akan ibu, istri pak Akbar, bersama putrinya yang paling kecil mengantarku
hingga di dermaga pada larut malam. Tersenyum dan melambaikan tangannya padaku.
Dia seperti melepas kepergian putrinya sendiri. Tak lupa dia membawakan aku
berbagai makanan dan minuman dari warung kecilnya. Ia juga membuatkanku kue
sebagai bekal di jalan. Padahal dia sudah membawakanku terlalu banyak bekal
untuk ku makan seorang diri. Melepas kepergianku di dermaga, dia menangis. Aku
pun sedih. Tapi aku harus pergi, aku harus pulang.
Tuhan memang sangat baik, mempertemukanku dengan keluarga
yang sangat luar biasa ini. Yang kini menjadi keluarga angkatku.
Tiba-tiba aku teringat bapak di luar sana. Bagaimana cara
bapak menemukan arah ke pulau Tinabo. Di luar hujan deras, tidak bisa melihat
bintang. Yang terlihat diluar sana hanya kegelapan. Aku membayangkan, pasti
mengerikan berada di luar sana. Melihat sendiri ganasnya ombak. Melihat
bagaimana kapal kayu ini berjuang. Tidak ada yang membantu bapak. Bapak
berjuang melewati badai ini sendirian. Begitulah pelaut. Begitulah tinggal di
kepulauan.
Kemudian pikiranku pun beralih. Bagaimana aku bisa sampai
ada disini, bagaimana aku mengenal keluarga pak Akbar, dan mengapa kita harus
melaut di tengah malam buta.
Seminggu yang lalu…
Aku berjalan ke sebuah pelabuhan yang tak jauh dari
alun-alun kota Benteng, pulau Selayar. Aku bertanya-tanya kepada para pemilik
perahu yang bersandar di pelabuhan itu, apakah ada perahu yang akan berlayar ke
kepulauan Takabonerate. Kepulauan Takabonerate itu banyak, aku tahu itu. Aku
sendiri tidak yakin pulau apa yang ingin ku datangi, karena minimnya info
mengenai kepulauan itu. Sampai-sampai aku tak bertemu satupun turis yang
memiliki tujuan yang sama denganku. Tidak ada perahu reguler menuju ke
kepulauan itu. Bayangkan saja jika berniat untuk sewa perahu kesana perlu biaya
berapa. Sekali perjalanan saja butuh waktu hingga minimal 7 jam lamanya dalam
cuaca normal. Sangat tidak bersahabat dengan kantong saya. Tidak ada cara lain
selain mencari kapal penduduk lokal yang ingin pulang ke rumahnya di kepulauan
Takabonerate. Jadi, aku harus menanyakannya satu per satu.
Sangking banyaknya pulau di ujung selatan pulau Sulawesi
ini, aku hampir saja nyasar ke pulau lain kemarin. Karena nama pulaunya sangat
mirip, yaitu pulau Bonerate. Yang ternyata membutuhkan waktu 12 jam naik perahu
dari pelabuhan di Benteng ini. Dari situ aku baru tau, jika kata ‘taka’ pada
nama kepulauan Takabonerate adalah terumbu atau karang dari bahasa lokal. Jadi
kepulauan Takabonerate adalah kepulauan dengan gugusan karang. Bahkan di
wikipedia mengatakan, Taman Nasional Taka Bonerate ini merupakan taman laut
yang memiliki kawasan atol terbesar ketiga di dunia. Tapi sayang, entah karena
promosinya yang kurang atau transportasinya yang sulit, hingga kepulauan cantik
ini kurang dikenal masyarakat luas. Terutama bagi para traveler. Karena banyak
dari mereka yang kutanya, tidak tau keberadaan kepulauan ini. Padahal pada
akhirnya aku mengetahui, bahwa setiap tahun pemerintah setempat selalu rutin
mengadakan acara di kepulauan ini dalam rangka mengenalkannya pada masyarakat
luas.
Seperti mengarungi kolam renang bening yang sangaaaatt luas |
Adiknya Isa. Sama susahnyaaa kalo dipoto. |
Setelah beberapa kali bertanya, seorang nakhoda kapal
menyarankanku untuk bertanya pada sekumpulan kapal- kapal kayu kecil yang
bersandar agak dipinggir pelabuhan. Sejenak aku terdiam memperhatikan
kapal-kapal itu, “kecil sekali”, dalam hatiku. Aku pun melangkahkan kakiku
kesana. Tidak semua dari kapal itu ada penghuninya. Aku sempat bertanya pada
sebuah kapal yang ada orangnya, tapi katanya kapal sudah penuh. Kemudian aku
bertanya pada kapal kecil lainnya, dijawab kalo pemiliknya masih keluar,
disuruh tunggu hingga kembali. Aku pun duduk di pinggir dermaga. Menunggu.
Setelah sang pemilik kapal kembali, aku bertanya apakah aku
boleh menumpang ke kepulauan Takabonerate. Sang pemilik kapal tertegun sejenak,
mungkin memperhatikan penampilanku, kemudian bertanya, “mau ke pulau apa?”.
Aku balik bertanya, “kapal bapak mau ke pulau apa?”
Dia memandangku lagi sejenak,”kamu mau ke Takabonerate ada
sodara?”
“Ga ada”
Dia terkejut, “Lalu ada urusan apa kesana?”
“Jalan-jalan”, jawabku singkat.
“Berapa orang?”
“Saya sendiri”
Dia memandangku lagi seolah tak percaya, hingga kemudian
berkata, “Saya mau ke pulau Tarupa, mau ikut kesana?”
“itu termasuk kepulauan Takabonerate kan? Kalau iya, aku
ikut ke pulau itu”
“Iya. Kalau begitu besok pagi jam 7 kamu sudah datang kesini
ya”
“iya”, jawabku girang. “mmmm ngomong-ngomong pak, saya harus
bayar berapa?”
“Tidak usah”, jawabnya.
Wow. Tentu saja girangku berlipat-lipat. Bagiku bisa
mendapatkan transportasi kesana sudah sangat beruntung, ditambah lagi tanpa
biaya apapun.
Sang pemilik kapal itu adalah pak Akbar. Dia lah malaikat
penolong ku. Yang pada akhirnya membawaku pada keberuntungan-keberuntungan lain
di kepulauan cantik itu.
Aku selalu bertemu senja indah di kepulauan ini |
Bersambung Takabonerate part 2
1 comments:
kak.. kamu keren sekali ya..
aku baca ceritamu rasa rasa aku pengen lakuin juga, tapi seperti nya gak seberani kamu kak :D
Post a Comment