Translate

Powered by Blogger.

About Me

My Photo
Biografi ‘Ubur-ubur’: Cewek cuek yang hobi keluyuran dan susah dicari karena suka menghilang seenaknya.Sering banget diomelin teman,sahabat, en ortu karena hobinya yang menurut mereka riskan. Seorang kuli (karena blom jadi bos) yang terkadang menulis tentang cerita perjalanannya hanya karena dia pelupa dan takut memori di otaknya sudah full. Baginya jika buku adalah jendela dunia maka perjalanan adalah pintu dunia.
 

Friday, June 3, 2011

Dimana-mana yang namanya ke 'surga' itu susah! (Perjalanan Darat ke Pulau Derawan) Part 1

4 comments


Liat dong ya, macetnyaaaaa gara-gara si Komo lewat di hutan
Yeap surga, aku menyebut Derawan sebagai kepulauan surga. Nanti kalian juga tau kenapa aku bilang begitu.Tulisan ini khususnya kutujukan pada orang-orang yang punya jiwa petualang tinggi. Bukan untuk orang yang suka mengeluh dan mudah menyerah. Karena melewati jalur darat menuju pulau Derawan ini harus memiliki mental yang kuat. haha lebay!



Itu tadi cuma intro doank biar keliatan keren sih tulisan ane :D. Tapi jujur, buat aku asyik banget menempuh jalur darat ke Derawan. Bagi kamu-kamu yang pengen coba, ku share pengalamanku melalui jalur ini.



Semuanya berawal dari keinginanku untuk merasakan sensasi perjalanan yang berbeda, aku memutuskan untuk menggunakan jalur darat dari Balikpapan menuju pulau Derawan. Bukan karena naik pesawat itu lebih mahal, tapi dapat ceritanya sedikit :p. Kalau lewat jalur darat itu lebih seru! Lebih banyak yang bisa dilihat dan punya cerita lebih banyak. Bukannya aku tidak tahu bahwa jalur yang akan kulalui itu medannya berat. Aku punya keluarga yang tinggal di pedalaman Kalimantan dan sering mengunjungi mereka sejak kecil, so sudah tau medan berat seperti apa yang dimaksud. Dan berita baiknya aku tidak sendiri, ada satu temanku yang setuju dengan ideku ini.



Pada awalnya perjalanan dari Balikpapan masih mulus. Hingga kemudian dilanjutkan perjalanan dengan rute Samarinda - Berau. Kemudian kami berhenti di kota Sangatta untuk makan malam. Kami tiba di Sangatta sekitar jam 7 malam. Tanpa dikomando para penumpang bus langsung ngacir ke toilet di belakang rumah makan. Maklumlah sepanjang 4 jam perjalanan dari Samarinda bus gak berhenti (ingat, jangan berharap bisa menemukan pom bensin untuk numpang toilet sepanjang perjalanan ini). Aku sengaja turun dari bus paling terakhir, karena males ikutan ngeroyok toilet hehe. Tiba-tiba pak sopir yang kupanggil Rambo ini (sumpah kayak Rambo!) bilang kepadaku, "Kalo mau makan ditanya dulu ya harganya."



Akhirnya setelah aku membersihkan diri di toilet dan mau pesan makan, temanku yang sudah pesan duluan berbisik "tanya dulu harganya".

Kulirik makanannya trus tanya, "emang makanmu ini berapa?"

"15ribu"

Hah?? Buset, cuma gini doank? Terdiri dari Nasi, ikan goreng kecil, ama kuah apa gitu. Yaaahhh, Kalimantan! (padahal yaa aku anak kalimantan juga haha)



Ku datangi meja prasmanan dan mulai tanya-tanya harga. Dan langsung membuatku ciut. Kutanya harga ikan yang rada gedean, ternyata 1 porsinya 35ribu yang lainnya malah bisa nyampe 50ribu! Padahal ikannya cuma sepotong! Ok, sepertinya ku pilih menu yang sama kayak temanku aja deh, yaitu menu paling murah 15 ribu. Bukannya pelit,toh cuma numpang lewat ini.



Sangatta emang kota yang kecil, tapi jangan ditanya seberapa gede gajinya kerja disini. Seperti kota-kota di Kalimantan lainnya, UMR disini emang lebih tinggi. Apalagi ada pertambangan batu bara besar di kota ini. Jadilah kota ini sangat hidup, terutama malam hari. Ada banyak sekali penginapan, tempat refleksi, tempat karaoke, spa, juga panti pijat (hah pijat??) di sepanjang jalan. Tapi herannya harga penginapan per malam ada yang dipasang cuma 65ribu per malam (penasaran gue isinya pegimane hehe). Berbanding terbalik dengan harga makanannya. Karena bus kami kebetulan nyampe Sangatta malam hari, lampu-lampu neon tempat hiburan yang kusebutkan diatas tadi cukup menyilaukan mata. Dan cukup jelas sekali jalan yang bus kami lewati ini adalah pusat kotanya. Selain tempat hiburan, ada toko-toko, counter hp, restoran, juga department store kecil. Kota ini cukup ramai, juga banyak kendaraan bermotor. Cuma busseett debunyaaaa...terbang kemana-mana. Meskipun malam hari, aku bisa melihat debu tebal yang beterbangan dari lampu sorot kendaraan yang lewat. Buru-buru aku tutup hidung.



Keluar dari pusat kota Sangatta, bus memasuki wilayah pertambangan batu bara besar yang kubilang tadi. Perusahaan tambang ini, sangat terkenal di Kalimantan (sorry ane ga mau sebutin merk hehe). Tak berapa lama kemudian, Waaww aku melihat lampu sorot yang sangat terang benderang menerangi lahan yang super luas. Disitu aku juga melihat mobil giant alias raksasa yang ukurannya sangat besar. Bahkan aku yakin tinggi kita gak sampai setengah dari tinggi ban nya. Membuatku merasa sangat kecil dan seram.



Meninggalkan wilayah tambang, bus memasuki wilayah Bengalon. Nah disini jalur yang hancur parah dimulai. Daridulu aku tau musim di Kalimantan sulit ditebak, sebenarnya sih kalo menurutku aturan musim disini gak berlaku. Karena setauku musim hujan ya panas, musim panas ya hujan hehe. Makanya disana jarang banget ada yang namanya kekeringan. Nah dijalur yang kita lewati ini sepertinya curah hujannya agak tinggi. Setidaknya dalam seminggu beberapa kali turun hujan. Kalo supirnya bilang, hampir setiap hari malah! Padahal jalur yang parah ini, gak bisa kena air sedikitpun. Karena jalannya tersusun dari tanah lumpur, gerimis turun saja sudah sukses membuat truk gak bisa kemana-mana dan harus menunggu panas biar lumpurnya agak mengeras. Itulah yang menyebabkan kemacetan berhari-hari di tengah hutan.

 

Macet cuuyyy

Muka-muka pasrah, capek, laperrrrrr penumpang

Hujan lagiiiii, diam ditempat grak!!


Aku yang posisi duduknya paling depan sebelah sopir (posisi paling strategis), melihat dengan jelas jalan yang harus kami lalui. Jalanan itu tampak lebih seram pada malam hari karena lubang-lubang besar yang menganga itu tidak terlihat sedalam apa. Ok, kemacetan pertama dimulai. Bus berhenti tepat di belakang sebuah mobil untuk mengantri lewat. Kemudian ketika giliran bus kami lewat, aku yang paling depan melihat takjub jalanan yang ada didepan. Jalan sebelah kanan berlubang besar dan tidak kelihatan apa-apa. Sedangkan sebelah kiri dipenuhi kubangan lumpur yang masih basah. Suka gak suka cuma jalur kiri yang kemungkinan masih bisa dilalui. Masih terlihat taxi kijang yang berusaha melewati kubangan lumpur itu terjebak dan beberapa orang membantu mengeluarkannya.



Tapi bus kami yang di sopiri oleh Rambo berhasil melewatinya tanpa kesulitan berarti. Dia sangat mengenal medan dan pengemudi yang handal. Bahkan dia sangat ringan tangan untuk membantu mobil-mobil yang terjebak dengan mendorongnya atau menariknya dengan bus yang kami tumpangi. Itu sebabnya kita panggil dia Rambo. Apalagi badannya yang besar dan kekar semakin memperkuat kesan itu. Tantangan lebih berat di jalur berikutnya membuat bus kami nyaris terguling ke kanan. Lagi-lagi di jalur kiri ada mobil yang terjebak. Sudah dicoba berulang kali tidak bisa keluar juga. Satu-satunya jalan adalah ditarik dari depan. Kemudian Rambo masuk ke dalam bus lalu menyalakan mesin. Aku memperhatikan Rambo waktu dia mengamati jalan dengan menggunakan sorot jauh lampu bus. Aku tau dia sedang memperkirakan seberapa dalam kira-kira kubangan lumpur panjang yang ada di hadapan kita itu sebelum memutuskan untuk melewatinya. Akhirnya dia memutuskan untuk melewati jalur kanan itu. Dan ternyata...dalam!



Bus kami serasa berenang didalam kubangan lumpur yang besar. Mesinnya meraung-raung agar keluar dari situ. Bus kami jalan sedikit demi sedikit, tetapi semakin ke depan bus kami semakin tenggelam ke kanan. Seketika bus dalam keadaan miring, hingga rasanya aku mau jatuh kearah kanan. Tiba-tiba Rambo memerintahkan kami semua untuk duduk dikursi sebelah kiri. Aku yang memang sudah duduk di kursi sebelah kiri pun sampai harus berpegangan pada jendela agar tidak jatuh. Untuk waktu yang agak lama kami dalam posisi seperti ini. Penumpang yang lain sudah mulai khawatir, dan mengatakan pada Rambo untuk tidak memaksakan diri. Masalahnya mau dipaksakan atau tidak, memang harus dipaksakan. Kalo gak gitu, gimana cara keluarnya coba. Meskipun sebenarnya memang agak menakutkan juga, aku bahkan bisa melihat dengan jelas kubangan lumpur yang sangat kental itu dari jendela di sebelahku.



Tapi bukan Rambo namanya kalo gak bisa keluar dari kubangan itu hehe. Selang beberapa menit dag dig dug di dalam bus, akhirnya bus keluar juga. Semua orang langsung bernafas lega hingga rasanya nyaris ingin tepuk tangan haha. Setelah keluar dari kubangan, Rambo langsung mengambil tali besi untuk menarik mobil yang masih terjebak di jalur kiri. Dan setelah berhasil menarik mobil itu keluar, bus kami melanjutkan perjalanan. Iseng-iseng aku bertanya "Pak, tadi tu jalur yang paling parah ya?"

"Haha bukan! Yang tadi itu masih permulaan." ujarnya

Hah??!!


Dan akhirnya tibalah kami pada kemacetan yang paling parah. Karena kendaraan yang antri sangat panjang dan malam sudah sangat larut, mau gak mau tapi harus mau, kita menginap disitu bersama puluhan kendaraan lain. Sebenarnya sih ini bukan pengalaman pertama bagiku mengalami kemacetan di tengah hutan. Aku sudah pernah terjebak macet di hutan dalam perjalanan ke Banjarmasin. Tapi tidak pernah sampai berhari-hari seperti sekarang. Mungkin karena lelah setelah melakukan perjalanan seharian, aku dan penumpang lain tertidur dengan mudah.Padahal posisi tidur kita rata-rata dah kayak ulet sutra. Kaca terbuka brrrr...dingin, kursi sempit, keras pula. Untungnya ga da nyamuk ataupun makhluk halus yang ganggu.



“kopi! rokok! nasi bungkus!”.

Hah?? Apa aku mimpi?

Tersadar dari tidur, aku menoleh ke arah suara. Aku bahkan belum sempat benar-benar membuka mata ketika melihat ada penjual nasi keliling! Heeh? Tadi malam sepertinya kita berada di hutan. Segera ku julurkan kepalaku keluar jendela, bener kok kita masih ada di hutan. "Nasi bungkus mbak?" tawar seorang ibu padaku. Kulirik sebentar, hmmm..keliatan enak. Tapi kujawab, "eh, enggak bu. makasih". Pagi-pagi gini gak selera makan nasi. Aku membawa sedikit camilan dan buah yang kubeli di terminal Lempake. Untung ku bawa apel, batinku. Aku hampir selalu bawa apel setiap melakukan perjalanan jauh. Karena selain sebagai cemilan sehat, mengenyangkan, juga berfungsi sebagai sikat gigi alami jika tidak tersedia air untuk sikat gigi hehe.



By the way sudah dari semalam gak ke toilet. Gimana ya, batinku. Ku lihat penumpang bus wanita baru datang dari luar. Kutanya aja, "mbak darimana?".

Dijawab, "dari cuci muka".

"Loh ada toilet sekitar sini?"

Penumpang lain lantas menjawab, "ada, jalan aja lurus ke belakang. Nanti ada rumah disitu, turun aja kebawah."

Oh ada rumah juga ya, batinku.

Langsung aja ku geret temanku mencari rumah yang dimaksud. Tapi begitu keluar dari bus aku tertawa begitu melihat si Rambo lagi tertidur pulas di jalan samping bus beralaskan koran dan berselimutkan sarung. Posisinya agak masuk ke kolong bus pula.Haha sepintas kayak mayat tergeletak di jalan. Dan aku juga baru sadar betapa panjangnya kemacetan itu. Karena topografi Kalimantan Timur yang perbukitan, aku bisa melihat mobil dan truk yang berjajar rapat dari bukit di depan sana sampai bukit yang ada di belakangku. Dan lebih dramatis lagi karena dihiasi dengan kabut yang turun, serta plang kayu yang ditulis ala kadarnya di pinggir jalan bergambar tengkorak bertuliskan “Harap pelan donk mas”. haha


ummm...penting ga sih sebenarnya plang ini yah


Daripada tidur sempit2an di bis, Rambo pilih tidur disini, untung semalem ga da truk gajah lewat di jalur kanan :p

Akhirnya nemu juga rumah yang di maksud. Di sebelah kiri rumah itu sudah terdengar suara ribut-ribut orang tertawa. Pasti berasal dari toilet yang dimaksud, batinku. Langsung kita ngeloyor belok kiri ke jalan yang menurun, dan ternyata hah rame amat! udah kayak ajang mandi bersama aja. Kemudian ada seseorang yang selesai mandi memberitahuku, "kalo mau mandi ngantri, rebutan sama supir-supir truk." Apa??

"Emangnya gak ada toilet lain ya pak?" tanyaku

Dijawab, "Toilet belok sebelah kiri, kalo belok sebelah kanan yang dibuat mandi supir-supir itu cuma pancuran, gak da toiletnya."

Oooo. Mending ke toliet deh. Langsung aku belok ke kiri dan eng ing eng disana aku melihat toilet ala kadarnya. Seharusnya si gak kaget, ini kan bukan kota bahkan di bilang kampung juga kagak, aku cuma liat 2 rumah kayu disini. Hmmm...sebenarnya nih toilet ga buruk-buruk amat, udah pake WC dan tersedia sumber air yang sangat melimpah karena gak ada penutup kerannya. Airnya terus mengalir, kalo di kota bisa membengkak tagihan. Penasaran nih air berasal darimana, airnya bening dan segar seperti air pegunungan di Jawa. Sangking sederhananya toilet itu hanya ditutupi dengan terpal yang sudah sangat tipis. Tapi masih lebih baik daripada gak ada. Ya sudah lah, tapi kok...loh kok gak da pintunya!!

Trus ditutup pake apa dong. Tengok kiri tengok kanan, sepertinya sih tidak ada orang yang lewat sini. Tapi ntar kalo ada yang lewat lucu dong. Aihhhhh gimana ini! Buru-buru kupanggil temanku yang menunggu dekat pancuran, kuminta dia untuk menjaga dekat toilet. Jadi kalo sewaktu-waktu ada yang mau lewat situ, dia bisa memberitahu kalo ada orangnya.

Haaahhh akhirnya terjadilah peristiwa itu, menggunakan toilet tanpa pintu! Haha


Continue to Part 2

4 comments:

Hubsch Lowe said...

mana sambungannya ceritanya, sis..??
kebetulan aku lg di banjarbaru. dan mau coba berpetualang ke derawan lewat jalur darat seperti dirimu. bulan puasa gini kira2 berat bgt ga yaa lewat jalur darat..??? :D

Lenny said...

iya nih, lg sibuk bgt, ga sempet nulis terusannya. kalo travelling pas bulan puasa malah lebih bagus, pahala lebih gede pula kan musafir kisahnya :p. Ga ada capek2nya kok, secara cm duduk doang. Paling2 kakinya yg pegel...

timitimi said...

beuh.....tak cari2 part 1 nya ternyata disini.......
Mantap Sist.....

Lenny said...

hehe iyaaaa
nanti gw link-kan part 1 nya di blog part 2 :p

 

Followers