Translate

Powered by Blogger.

About Me

My Photo
Biografi ‘Ubur-ubur’: Cewek cuek yang hobi keluyuran dan susah dicari karena suka menghilang seenaknya.Sering banget diomelin teman,sahabat, en ortu karena hobinya yang menurut mereka riskan. Seorang kuli (karena blom jadi bos) yang terkadang menulis tentang cerita perjalanannya hanya karena dia pelupa dan takut memori di otaknya sudah full. Baginya jika buku adalah jendela dunia maka perjalanan adalah pintu dunia.
 

Thursday, July 12, 2012

Lost in Translation di Negara Sendiri

0 comments
Siapa yang pernah khawatir bakalan lost in translation ketika bepergian di negara sendiri? Bahkan tidak pernah sekalipun terpikir olehku. Seharusnya kita tidak terkejut, secara Indonesia memiliki ratusan bahasa daerah dengan logat yang khas masing-masing. Apalagi jika suka bepergian ke daerah-daerah yang jauh dari kota, kebanyakan penduduknya gak bisa ngomong bahasa Indonesia. Parahnya terkadang aku lebih mengerti ‘bule’ yang ngomong bahasa Inggris daripada bule gado-gado yang ngomong pake bahasa daerah. Kedengarannya memang sungguh tragis.


Sama halnya jika tidak mengerti bahasa di negara lain, tidak mengerti bahasa disuatu daerah juga bisa membuat frustasi. Ya, aku sempat frustasi ketika KKN harus menghadapi bapak-bapak yang bekerja di kantor kepala desa sebuah dusun terpencil di Probolinggo. Karena tidak ada yang mengerti bahasa Indonesia kecuali bapak kepala desa, mereka cuma tau bahasa Madura. Susah payah aku berjam-jam menjelaskan bagaimana cara menulis laporan, tapi hasilnya nihil. Jadi selama ini cuma kepala desa yang melakukan semua pekerjaan mereka. Dan pegawainya itu cuma datang setiap pagi, menggunakan seragam pegawai negeri, minum kopi, merokok, nongkrong, ngobrol, dan pulang disiang hari. Huh enak banget!

Lain halnya ketika aku berpergian ke Bandung. Aku dan seorang bapak yang berasal dari Malang sama-sama sedang menunggu jemputan di bandara Hussein Sastranegara. Dia mendekatiku dan mengajak ngobrol. Betapa leganya ia ketika tau aku bukan orang Bandung. Kemudian bapak itu mengungkapkan frustasinya padaku lantaran semua orang berbahasa sunda. Dia seperti merasa tidak nyaman karena tidak mengerti apa yang orang-orang itu bicarakan. Dengan logat Jawanya ia tanya, “Kamu gak merasa pusing ya disekeliling kamu semua berbahasa sunda?”. Aku cuma tersenyum. Aku jadi teringat temanku yang orang sunda pernah mengeluh hal yang sama. Dia juga pusing ketika disekelilingnya semua orang berbahasa jawa 

Cukup lama kami mengobrol hingga akhirnya jemputan bapak itu datang duluan. Sebuah mobil lewat di jalanan depan kami ,dan dari kaca mobil yang terbuka menjulurlah 2 kepala remaja sambil melambai-lambaikan tangannya berteriak, “kita putar mobil dulu ya!”. Bapak itu tertawa lega dan memberitahu bahwa kedua remaja itu adalah keponakannya, anak dari kakaknya yang tinggal di Bandung. Tetapi sepertinya mereka sangat berbeda dengan bapak yang disebelahku ini. Kemudian pertanyaan usil pun muncul, “Memangnya kakaknya bapak itu nikah sama orang keturunan cina ya?”. Jawaban si bapak, “Loh saya memang keturunan cina, cuma karena sering ke ladang jadi hitam begini deh. Gak keliatan ya?”. Ups!

Kusadari terkadang tidak mengerti bahasa daerah setempat juga bisa menyebabkan terserang pusing dadakan. Waktu aku dan dua temanku mau pulang setelah mengunjungi Goa Tengkorak di Grogot (perbatasan antara Banjarmasin dan Balikpapan), kami bertemu dengan seorang wanita paroh baya yang kental dengan logat banjarnya. Ibu itu berusaha untuk bertanya tentang sesuatu dan tentu saja kita tidak mengerti. Satu-satunya hal yang kita pahami dari perkataan ibu itu adalah Penajam. Penajam merupakan kota dimana terdapat pelabuhan menuju Balikpapan. Beragam bahasa kugunakan untuk bisa berkomunikasi dengan si ibu, mulai dari bahasa tarzan hingga bahasa tubuh. Tapi ibu itu mengoceh kesana kemari, semakin aku mengerutkan dahi karena tidak mengerti maka semakin keras dia bicara dengan bahasa yang sama. Semakin aku berusaha membaca ekspresi wajahnya, cara dia berbicara, dan bahasa tubuhnya maka semakin sakit kepalaku. Akhirnya aku memalingkan muka dan….menyerah!

Karena tidak mengerti bahasa daerah juga bisa membuatku jadi negative thinking dengan orang lain. Ketika aku sedang berada di bandara, aku bersebelahan dengan tiga orang wanita yang berbicara dengan bahasa bugis. Mereka bicara sambil melirik-lirik ke arahku. Dari intonasi bicaranya mereka sepertinya sedang kesal. Kemudian aku mengambil kesimpulan sendiri bahwa mereka sedang kesal karena aku meletakkan tasku diatas kursi, sehingga salah seorang temannya tidak kebagian tempat duduk dan harus berdiri. Lah salah sendiri gak bilang mau duduk. Tuh kan aku jadi negative thinking kan!

Parahnya lagi aku yang kuliah dan kini bekerja di Surabaya selama bertahun-tahun juga masih sering kagok ama bahasa jawa. Meskipun aku paham artinya sedikit-sedikit tetep aja kelimpungan ketika dihadapkan dengan nenek-nenek yang berbahasa jawa timuran. Biasanya aku cuma bisa menjawab iya ataupun tersenyum-senyum. Tetapi dikepalaku tetep masih penasaran dengan apa yang dimaksud. Dan lebih parah lagi jika harus berhadapan dengan orang Jawa Tengah yang sama sekali tidak bisa bahasa Indonesia. Bahasa jawanya yang sehalus satin benar-benar membuatku nge-blank. Aku bahkan sudah tidak bisa tersenyum ataupun menjawab ‘iya’. Karena aku pernah ditertawakan temanku gara-gara seorang ibu di sebuah desa di Jawa Tengah bertanya padaku yang artinya ‘kamu mau kemana’, dan aku menjawabnya dengan ‘iya’!

Tapi aku pernah dibuat sirik sama temanku yang berasal dari Inggris. Dia yang baru setahun tinggal di Surabaya udah canggih bahasa Indonesia dan jawa lengkap dengan medoknya. Aku juga tidak akan percaya jika tidak melihatnya sendiri. Waktu kami lagi jalan-jalan di Bromo yang lagi meletus, kita berteduh di sebuah café sekitar situ. Cuma ada kita berlima waktu itu, 2 orang Indonesia termasuk aku dan yang lainnya ‘bule’. Temanku yang namanya John ini, berinisiatif untuk menyewa mantel pada pemilik café karena kami kedinginan abis keujanan. Tiba-tiba aku mendengar suara jawa medok meminjam mantel. Spontan aku menoleh dan terlihat dengan jelaslah, si ‘bule’ tulen John berbicara dengan bahasa jawa medok. Biasanya aku akan tertawa karena lucu, tapi aku justru malu. Huh aku kalah sama ‘bule’.

Dan bahkan ketika aku bepergian ke daerah yang masih satu provinsi sekalipun dengan kampung halamanku, Balikpapan aku tetep masih bisa lost in translation. Waktu aku menikmati liburanku di pulau Derawan, aku bertemu dengan rombongan tour dari Nunukan, Kaltim. Dia sempat bertanya, “kita dari mana?”. Heh? Dengan tampang bloon aku berusaha menterjemahkan pertanyaannya. Dalam bahasa Indonesia, ‘kita’ berarti terdiri dari aku dan kamu. Nah loh, berarti ‘kita’ yang dimaksud itu bukan berasal dari bahasa Indonesia. Ternyata ‘kita’ yang di maksud itu memiliki arti kamu. Dan baru kuketahui bahwa bahasa itu banyak digunakan di Kalimantan Timur. Padahal kalau menurut bahasa Gorontalo, ‘kita’ artinya adalah aku. Puyeng kan.

Aku jadi teringat cerita temanku yang pernah backpack ke Eropa. Dia pernah lost in translation di Italia, dan hampir diperkosa karena itu. Tetapi sekarang kusadari ternyata gak perlu sampai jauh-jauh di Eropa, selama ini di negara sendiripun kita masih sering get lost in translation.

0 comments:

 

Followers