Pengen ke Eropa katanya biar bisa liat salju, tapi percayalah liat salju berarti kamu setuju dengan resiko kedinginan. Sama seperti hidup di luar negeri, ga semuanya seenak yang kamu bayangkan. |
Gue yakin banyak diantara kalian yang berfikir enaknya bisa tinggal diluar negeri, bisa sekolah di luar negeri, atau punya suami bule dan tinggal di luar negeri. Padahal liat-liat luar negerinya juga yak, Timor Timur juga luar negeri. Kalo dikasi tau tinggalnya di luar negeri daerah Afrika, atau di Negara-negara Timur Tengah yang penuh konflik perang, responnya berbanding terbalik kalo tinggal di daerah Eropa. Huwakkkk. Umumnya pasti gitu kan.
Padahal ya orang-orang yang tinggal diluar negeri ini belum tentu merasa ‘seenak’ seperti yang dituduhkan masyarakat Indonesia umumnya. Ada banyak tuh postingan indahnya diluar negeri, jadi kali ini gue mo posting soal ga enaknya.
Tipe pertama adalah mahasiswa. Dikira enak, kuliah ga pake mikir, hidupnya cuma jalan-jalan, hura-hura bahagia. Pake mikiiiiirrr, kadang sampe stress ampun-ampunan. Apalagi mikirnya pan jadi double, karena bahasa yang digunakan bukan bahasa Indonesia. Kalo pake beasiswa kudu ada target nilai yang terpenuhi sesuai kontrak beasiswa masing-masing (modyar-modyar deh mikirnya). Belom lagi kalo pake biaya sendiri yang mepet, campur-campur deh sambil kerja sambilan yang biasanya menggunakan kekuatan fisik. Bayangin, lelah fisik (demi sesuap nasi*lebay) terus pulang harus belajar. Dikira kalo elu lulusan sarjana di tanah air bakal laku kerja kantoran di Eropa meskipun cuma part time? Susah meennn. Ya soalnya lembaga pendidikan di Indonesia kan mmmmm…gimana ya, dimata Eropa kan….ya gitu deh (kayaknya si karena mereka lebih yakin sama akreditasi lembaga pendidikan Eropa aja si yang sudah mendunia sighhh). Kecuali elu sangat menonjol sekali, cerdas seperti Albert Einstein, langsung direkrut deh *hakhakz lebay. Ya ga perlu sampe sebegitu cerdas-nya sik, ada yang memang beruntung meskipun peluang sangat kecil. Bukan, bukan maksud saya mematahkan semangat kuliah diluar negeri (bagi ynag berniat), saya hanya mencoba untuk membantu melihat realitanya, jangan sampe nanti uda ke medan perang ‘shock’ lagi.
Gue malah menganjurkan untuk bisa melanjutkan kuliah diluar negeri malah. Selain kalian punya ijazah dari universitas Eropa yang (katanya) cenderung bonafit, sangat membantu untuk karir kalian selanjutnya. Apalagi banyak sekali hal yang bisa kalian petik dan pelajari selama tinggal di Eropa. Tapi yaaaa itu, kecuali kalian anak konglomerat yang tinggal ongkang-ongkang kaki cuma perlu belajar doang (tanpa harus mikir sandang,pangan dan papan), selain itu kalian bener-bener harus belajar giat dan tekun bekerja. Sungguh (menurut saya) perjuangannya tidak mudah. Kerja part-time disini bisa jadi tukang cuci piring di restoran, pelayan kafe (kalo sudah fasih bahasa local), nanny, cleaning service, loper Koran, sampe jadi tukang bersih-bersih yang datang ke rumah-rumah. Bandingkan dengan kalian-kalian sarjana S1 yang kerjaannya di tanah air bisa duduk manis di depan komputer. Tapi ya itu, ga usah nyinyir dengan mindset kebanyakan orang Indonesia terhadap pekerjaan kasar atau kelas bawah seperti itu. Sudah pasti gaji mereka jauh lebih besar dibandingkan anda-anda yang duduk manis di balik komputer. Kalo kamu tipe orang yang anti kerja jadi buruh kasar, maka sebaiknya anda tetap di zona nyaman anda. Tapi sekali lagi, ga semua yang kuliah melakukan hal itu, tergantung dari kondisi keuangan masing-masing.
Nah lain lagi sama tipe kedua, orang-orang terpilih yang direkrut oleh perusahaan untuk penempatan di luar negeri. Saya pernah bertemu dengan orang-orang jenis ini. Orang-orang yang terpilih ini yaaaa rata-rata tipe jenius, dihargai sangat mahal untuk ilmu yang dimilikinya. Dan memang yang tipe begini agak langka kalo dibandingkan dengan total penduduk Indonesia. Menurut saya yang paling diuntungkan adalah istri/suami dan anak-anaknya haha. Kadang berandai-andai gue jadi anaknya, bisa dapat pendidikan diluar negeri dan hidup terjamin *ngayal. Ga usa ngiri, semua manusia suda ada jatah rejekinya masing-masing *tapi teteeep aja ngiri, kok bukan gue aja sik jadi anaknyaaa haha. Dan jujur, saya ga pernah ngiri untuk jadi istri mereka-mereka yang terpilih ini. Lah wong tipenya beda jauh ama harapan saya haha .Punya selera boleh dong. Padahal enak yak kerjaannya bisa leha-leha, tinggal diluar negeri, jalan-jalan, shopping-shopping, kipas-kipas duit (*dikeplak).
Selain tipe terpilih yang jenius ini, ada lagi tipe terpilih atas profesi yang lain seperti menjadi asisten rumah tangga, baby sitter, atau pekerjaan lainnya. Ga usa tanyalah ya gajinya. Bisa kalah deh yang kerja di tanah air lulusan S2 sekalipun.
Lalu tipe ketiga, menjadi istri bule *hoho demen nih kalo nyeritain yang inih, yang baca juga pasti lebih demen ma tipe ketiga *sotoy.
Dari begitu banyaknya penduduk Indonesia yang tinggal diluar negeri, menurut saya posisi istri bule lah yang jadi jawaranya. Maksud eike, jabatannya di kancah kehidupan sosial luar negeri (ngomong apa si gue). Di antara perkumpulan-perkumpulan makhluk Indonesia (dikire alien) di luar negeri yang gue sambangi, jabatan sebagai istri bule lah yang menempati urutan teratas, alias 90% dari total anggota perkumpulan (berdasarkan pengamatan saya semata). Memang kalo dibandingin 2 tipe diatas sik, paling mudah untuk tinggal diluar negeri adalah sebagai istri bule. Uda tinggal diluar negeri, punya suami bule, memperbaiki keturunan pulak huwakkk. Eits, tapi bukan berarti lantas jadi istri bule hidupnya cuma hura-hura bergembira yak. Ada yang bahagia ever after, tapi banyak pula yang kisah hidupnya kek drama panjaaaannggg macam sinetron tersanjung sampe episode 7 *lebay ini sik. Penuh derai air mata *eh yang ini seriusan loh.
Dari hasil bergaul dengan para istri bule di beberapa Negara dan kota, ternyata jadi istri bule ga ngejamin hidupnya bisa semulus kulit pisang. Penuh perjuangan juga bok. Mulai dari memahami budaya yang berbeda, kendala bahasa, suhu dan cuaca yang berbeda, apalagi menghadapi kondisi keuangan yang ga seenak apa kate orang Indonesia (umumnya) kira. Iya, dikira kalo bersuamikan bule berarti kaya? Tidak. Biasanya kaum bule yang sudah mapan hidupnya (aka kaya) adalah yang sudah berusia cukup tua dan biasanya statusnya duda. Dan fakta lain yang saya ketahui meskipun tidak seratus persen benar adalah mereka baru memikirkan menikah diatas usia 30tahun. Meskipun ada juga yang saya kenal menikah masih berusia dibawah 30 tahun *agak langka,ciyus deh.
Lalu apakah istri-istri bule ini cuma lenggang-lenggang kangkung menikmati hasil jerih payah suaminya? Tidak juga. Fakta di lapangan sesungguhnya sangat mengejutkan saya, sebelum akhirnya saya terbiasa dengan irama kehidupan yang seperti itu. Karena saya sempat tinggal di Swedia, jadi saya cuma bisa mengkategorikan uraian saya ini berlaku untuk wilayah Negara Swedia umumnya. Meskipun kemungkinan besar kehidupan menjadi istri bule di Negara Eropa lainnya cenderung sama, saya ga berani menyamakan. Jadi berdasarkan pengamatan di Negara yang sempat saya diami saja. Negara Swedia ini benar-benar menganut kesetaraan gender, dimana posisi wanita dan pria memiliki hak dan status yang sama dalam berbagai hal. Baik wanita dan pria dituntut mandiri dalam berbagai hal. Tidak ada yang namanya pekerjaan laki-laki ataupun pekerjaan perempuan. Jangan heran kalo kalian banyak ngeliat papa-papa ganteng sendirian ngangon bayi ataupun anak-anaknya di taman. Atau jangan heran kalau liat perempuan kece bak model jadi tukang pemotong rumput di taman tengah kota. Perempuan disini bisa melakukan apa yang kalo di Negara kita sebut pekerjaan laki-laki, begitupula sebaliknya.
Ada sebagian istri-istri bule ini yang dikasi uang jajan, tapi ada juga yang kagak. Malah sebagian besar sih kagak. Memang untuk biaya rumah tangga dibiayain, tapi kalo uang jajan cari sendiri-sendiri. Dan seperti biasa untuk menjadi pekerja di Negara maju yang super duper mahal ini, meskipun ijazahmu S1 lulusan tanah air, ga akan berguna disini. Kamu tetap akan bekerja dari nol, yup sekolah lagi. Disini semua kerjaan ada sekolahnya, heran juga gue kadang. Bahkan sekolah khusus cleaning service. Jadiiiii rata-rata kerjaan pertama yang dilakukan para istri yang mencari uang jajan adalah cleaning service, pelayan kafe atau resto, dan yang lain-lain model gitu deh. Tapi tenang aja, semua itu digaji mahal. Sama mahalnya kayak kalo mo jajan disono. Bisa nyesek kalo dirupiahin.
Soal tempat tinggalpun, orang kaya akan tinggal di rumah sendiri yang berdiri diatas tanah. Kalo orang yang biasa aja ya tinggal di apartemen. Luasnya dan lokasi apartemen pun ikut merepresentasikan seberapa kayanya penghuninya hoho. Dan saya sempat shock betapa kecilnya apartemen disana yang harganya tetep aja mahal luar biasa. Kadang mikir, masi gedean kamar kos saya di Surabaya dulu. Bahkan untuk tipe rumah orang kaya, kadang gue berfikir, masi gedean rumah bokap gue di Indonesia *padahal bokap gue kagak kaya.
Jadi sudah bisa dipahami kan. Ga selamanya jadi istri bule itu enak melulu. Tantangannya banyak, perbedaan budaya, perbedaan cuaca (sumpah kedinginan tu ga enak), belum lagi kalo kudu kerja, belom lagi kalo kangen makanan indo, kangen ma enyak babe, hedeee banyak deh. Keras broooo hidup di Negara orang. Isinya ga cuma yang enak-enak doang.
PS berdasarkan pengamatan dilapangan. Ga semua hal berlaku sama. Saya cuma mo kasi gambaran sisi ga enak-nya tinggal di luar negeri. Kadang-kadang berasa nangis darah *lebay padahal gara-gara harga cabe rawit di eropa selangit!.
1 comments:
betul banget! Sama persis seperti di Jerman
Post a Comment