source Google |
Hai hai, kali ini gue nyiyir lagi yak. Ga tau kenapa lagi males banget nulis cerita-cerita traveling *males mikirnya, kalo nyiyir kok rasanya ga pake mikir yak huwakkkk.
Seperti biasa gue mo ngangkat sisi cerita ga enaknya alias dukanya tentang punya pasangan bule, entah mo temenan doang, jadi pacar atau suami/istri. Rasa-rasanya si ini lebih ke budaya mereka ya (pria Eropa) yang memang berbeda dengan budaya berpasangan di Negara kita. Tapi jangan disamakan dengan semua pria Eropa loh ya, ini hanya gambaran umumnya aja. Tanpa maksud untuk menggeneralisasi.
Hasil pengamatan gue si bersumber dari pengalaman pribadi dan pengalaman temen-temen serta istri-istri bule di Eropa (terutama Swedia si). Jadi mungkin ada diantara kalian yang sedang atau mau menjalin hubungan dengan bule bisa sedikit tau gimana gambaran ga enaknya.
Gambaran ini ga berlaku untuk bule yang sudah lama tinggal atau pernah berkunjung ke Asia atau Indonesia loh ya, karena sebagian besar mereka biasanya suda mengikuti dan memahami budaya Asia. Jadi jurang pemahaman budayanya ga terlalu lebar. Soalnya gue juga ngamatin, ternyata bule yang tau budaya Asia bakal ngadepin kamu layaknya pria Asia. Contoh, kalo lagi keluar bareng, makan, ngopi dan lain-lain mereka mengerti, kalo sang pria lah bagian yang ngebayar. Kalo bule-bule yang ga tau soal budaya Asia, atau emang yang dari orok hidup dibudayanya sendiri (ga pernah ke Asia), mereka memegang teguh atas asas kemandirian dan kesetaraan gender *ngomong apa sik. Bahasa kasarnya, jangan heran kalo keluar ma bule yang beginian asasnya tuh BSS alias Bayar Sendiri-Sendiri.
Pernah temen gue (cewek Siberia) nge-date ma cowok (cowok Swedia) yang akhirnya ga mau lagi ketemuan, gara-gara waktu kencan pertama BSS alias bayar sendiri-sendiri. Jadi tu cowok nanya alasannya ga mau ketemu lagi kenapa, terus waktu temen gue bilang masalah BSS itu, eh tu cowok nyahutin, “emang kamu ga mandiri ya”. Mandi sendiri-sendiri kali ya maksudnya *digetok.
Aku dan temanku si cewek Siberia ini sepakat, masalah gentleman ga bisa diganggu gugat sama budaya dan adat istiadat. Kesannya uda hukum mutlak gitu loh. Bahasa kasarnya yang namanya ogah rugi dan itung-itungan itu ga gentleman huwakkk *disambit. Bukan, bukan perkara kita matre, ato ga punya doku buat bayar, tapi ya itu kembali ke pasal 1, asas gentleman (emang ada perundang-undangan gentleman?) haha.
Ok kita bahas soal budaya mereka mengenai asas BSS ini yak. Gue uda pernah bahas perkara ini ama beberapa cowok dari beberapa Negara Eropa. Rata-rata sama si ya budaya BSS ini bersumber dari kemandirian dan asas kesetaraan gender. Dimana pria dan wanita posisinya sama dalam hal apapun, termasuk dalam hal pekerjaan. Wanita bisa berprofesi sebagai tukang pemotong rumput dan pria bisa berprofesi sebagai pengasuh. Jadi intinya, pria bukan dipandang sebagai pelindung wanita, dan wanita itu tidak dipandang sebagai makhluk lemah. Sehingga wanita disini semua dituntut mandiri dan bisa melindungi dirinya sendiri setara dengan pria.
Jadiii kalo punya pacar bule tipe yang seperti ini ga bisa tuh manja-manjaan minta anterin jalan ke stasiun dengan alesan takut dan gelap. Yang ada bakal dikomentarin pedes “lu kan bukan anak kecil, punya kaki bisa jalan sendiri” *bikin sakit hati.
Sobat gue yang suaminya bule pernah minta jemputin suaminya di stasiun abis kongkow ma gue. Karena uda larut malam dan jalanan dari stasiun ke rumahnya agak jauh, sobat gue ini minta suaminya tungguin dia di stasiun. Agak manjaan dikit bolehlah ma suami sendiri. Tapi sebenarnya uda bisa ditebak jawabannya ,”enggak” titik koma amin.
Tapi, bukan berarti itu tanda ga cinta. Budaya suaminya emang begitu. Dan yang kedua, suaminya menganggap jalan dari stasiun ke rumah sendirian larut malam itu aman.
Punya pasangan bule umumnya mereka jujur utarakan apa yang mereka maksud. Kalo mereka kesal, capek, marah, ato ga setuju. Ga ada tu cerita drama kayak budaya kita yang “ga enak ngomongnya”. Meskipun seringnya kejujuran mereka itu bikin emosi tingkat dewa, kayak ga punya hati aja, kayak ngomong ga pake filter en bla bla bla. Seperti pengalaman gue kalo jalan ma mantan yang dulu itu tuh, gue jalannya agak lambat dan jalan dia cepet (padahal jalan gue uda yang paling cepet untuk ukuran orang Indonesia), nyeletuklah dia, “jalanmu lama amat, ama nenek gue masi cepetan nenek gue” *ebuseeeett.
Jadi jangan heran pula kalo jalan ama kaum bule yang seperti itu kita jadi sering ditinggal-tinggal jalannya. Apalagi kalo suda hiking ato trekking bareng Grrrrrrr, uda deh alamat bakal ketinggalan sendirian jauh dibelakang *ngeselin tingkat dewa. Gue pernah tuh waktu trekking di hutan, ngeselin banget kan, masi untung gue ga diculik beruang. Abis itu dia balik lagi si setelah nyadar gue ilang. Tapi gue kan uda bĂȘte ya, pasang muka bertekuk-tekuk macam baju kumel. Tapi tetep aja kok mereka ga akan ngerti hal-hal yang kayak gitu, dan ga dianggap sebagai suatu masalah. Yang ada malah ditanya,”muka kamu kenapa?” *padahal muka gue uda merah membara keluar asep-asep di telinga. Anak kecil aja pasti tau kalo gue lagi kesel. Ga sesintif amat si jadi bule.
Dan kalopun gue protes ,”bisa ga si jalannya dipelanin, dah kayak dikejar beruang aja”. Yang ada malah jadi debat kusir berkepanjangan Cuma untuk ngebahas hal yang sepele, “kenapa ga lu aja yang jalannya agak dicepetin”. Uda deh ngabisin tenaga kalo segala hal kayak begitu didebatin. Mendingan kalo niat mo trekking, trekking sendiri-sendiri ajah.
Di dalam budaya kita, wanita dianggap lemah dan makhluk yang patut dilindungi. Jadi ga heran kalo kaum pria akan berbondong-bondong membantu kita kaum wanita jika terlihat kesulitan atau membawa barang-barang berat sendirian. Dan kalo kamu tinggal di Eropa (sekali lagi terutama Swedia), kalo kamu bawa barang seberat apapun sendirian, ga akan ada yang nolongin kecuali kamu minta tolong. Karena itu, wanita dianggap mandiri setara dengan pria. Tapiiiii kalo kamu minta tolong, mereka pasti bantuin kok.
Nah kalo untuk urusan membina rumahtangga dengan bule, saran gue lu harus bener-bener jelasin apa yang kamu harepin dan bagaimana aturan mainnya bersama pasangan. Serius loh gue ini. Berhubung gue punya beberapa temen yang berkenalan singkat dengan bule via chat web dan chat messanger, kemudian ga lama nikah, banyak hal yang belakangan mereka protes. Atau ga sesuai dengan harapan mereka. Jadiii jangan sampai nanti belakangan anda menyesal. Seperti, anggaran uang belanja sebulan, dikasi uang jajan ga kalo istri ga kerja, mau punya anak berapa (mereka soal jumlah anak perhitungan banget karena disesuaikan dengan budget , ada loh yang ga mau punya anak), rencana tinggal di negara mana, trus anggaran untuk liburan atau mudik ke Indonesia, lalu diijinin ga masak masakan Indonesia di rumah (seriusan loh ini, banyak bule yang ga suka ma aroma masakan Indonesia yang tajem banget), dan lain-lain sesuai harapan anda dalam berumahtangga nanti.
Kedengarannya serem yak, haha engga juga si. Seperti saya bilang, saya Cuma mau kasi gambaran aja. Biar kalian liatnya ga Cuma enaknya doang. Dikira cuma enak doang jadi istri bule. Entar semaput lagi liat realitanya.
Bahkan di Swedia rata-rata suami dan istri bekerja. Gaji menjadi hak milik masing-masing. Untuk segala hal tentang biaya rumah tangga semua dibagi dua, mulai dari biaya sewa apartemen, kehidupan sehari-hari, belanja, ataupun untuk anak-anak. Bahkan ketika dinner di restaurant mereka bisa sepakat bayar sendiri-sendiri dan biaya makan anak dibagi dua. Dan itu sesuatu yang normal dalam budaya kehidupan mereka.
Kawan saya yang lahir dan besar di Swedia tetapi memiliki background keluarga Asia juga tidak bisa menerima budaya yang seperti itu. Padahal seumur hidupnya dia berada dalam kultur itu. Ujung-ujungnya dia menikah dengan seorang yang juga memiliki background Asia karena lebih sepaham dalam harapan membina rumah tangga.
Saya juga berkali-kali dengar komplen dari teman-teman saya (memiliki background Asia atau Negara Eropa yang budayanya cenderung ke asia) yang kencan dengan pria Swedia. Mereka pasti protes dengan kultur pria-pria itu. Padahal kawan-kawan saya ini kebanyakan lahir dan besar di Swedia pulak, masi protes juga. Ujung-ujungnya mereka mewanti-wanti diriku untuk ga usah pacaran atau menikah dengan pria Swedia daripada makan hati dengan budayanya hahaha.
Bahkan saya yang pernah tinggal di Swedia dan mengikuti irama kehidupan serta budayanya, masi sering geleng-geleng kepala sendiri. Tentang betapa berbedanya dengan budaya yang selama ini kita kenal. Jadi terkadang budaya yang berbeda 180 derajat itu masih agak sulit diterima dengan nurani. Sama halnya dengan mereka, yang terbiasa dengan budaya mereka, juga agak sulit menerima budaya kita yang mungkin menurut mereka aneh. Jadi jika kalian memutuskan untuk berkomitmen atau menikah dengan bule yang berbeda latar belakang dan budaya, kalian harus bisa berfikiran terbuka. Menerima perbedaan budaya pasangan dan dikomunikasikan. Jangan nanti ditinggal jalan ngambek, ga dijemputin di stasiun ngambek, ga dibawain tasnya yang berat ngambek. Itu suda menjadi bagian resiko memiliki pasangan bule. Meskipun ga semuanya seperti itu. Banyak juga loh sukanya punya pasangan bule, rata-rata mereka ga baper, ga cemburuan buta, romantis dan gentleman dengan cara mereka sendiri, ngebebasin pasangannya berkarir dan berpendapat, ga terlalu banyak ngatur-ngatur, dan lain-lain. So semoga bisa jadi referensi buat kalian.