Wednesday, October 7, 2020
Sunday, July 5, 2020
Friday, June 5, 2020
Saturday, May 16, 2020
Tuesday, April 28, 2020
Friday, April 24, 2020
Saturday, September 10, 2016
Duka Punya Pacar/Pasangan/Suami Bule
source Google |
Hai hai, kali ini gue nyiyir lagi yak. Ga tau kenapa lagi males banget nulis cerita-cerita traveling *males mikirnya, kalo nyiyir kok rasanya ga pake mikir yak huwakkkk.
Seperti biasa gue mo ngangkat sisi cerita ga enaknya alias dukanya tentang punya pasangan bule, entah mo temenan doang, jadi pacar atau suami/istri. Rasa-rasanya si ini lebih ke budaya mereka ya (pria Eropa) yang memang berbeda dengan budaya berpasangan di Negara kita. Tapi jangan disamakan dengan semua pria Eropa loh ya, ini hanya gambaran umumnya aja. Tanpa maksud untuk menggeneralisasi.
Hasil pengamatan gue si bersumber dari pengalaman pribadi dan pengalaman temen-temen serta istri-istri bule di Eropa (terutama Swedia si). Jadi mungkin ada diantara kalian yang sedang atau mau menjalin hubungan dengan bule bisa sedikit tau gimana gambaran ga enaknya.
Gambaran ini ga berlaku untuk bule yang sudah lama tinggal atau pernah berkunjung ke Asia atau Indonesia loh ya, karena sebagian besar mereka biasanya suda mengikuti dan memahami budaya Asia. Jadi jurang pemahaman budayanya ga terlalu lebar. Soalnya gue juga ngamatin, ternyata bule yang tau budaya Asia bakal ngadepin kamu layaknya pria Asia. Contoh, kalo lagi keluar bareng, makan, ngopi dan lain-lain mereka mengerti, kalo sang pria lah bagian yang ngebayar. Kalo bule-bule yang ga tau soal budaya Asia, atau emang yang dari orok hidup dibudayanya sendiri (ga pernah ke Asia), mereka memegang teguh atas asas kemandirian dan kesetaraan gender *ngomong apa sik. Bahasa kasarnya, jangan heran kalo keluar ma bule yang beginian asasnya tuh BSS alias Bayar Sendiri-Sendiri.
Pernah temen gue (cewek Siberia) nge-date ma cowok (cowok Swedia) yang akhirnya ga mau lagi ketemuan, gara-gara waktu kencan pertama BSS alias bayar sendiri-sendiri. Jadi tu cowok nanya alasannya ga mau ketemu lagi kenapa, terus waktu temen gue bilang masalah BSS itu, eh tu cowok nyahutin, “emang kamu ga mandiri ya”. Mandi sendiri-sendiri kali ya maksudnya *digetok.
Aku dan temanku si cewek Siberia ini sepakat, masalah gentleman ga bisa diganggu gugat sama budaya dan adat istiadat. Kesannya uda hukum mutlak gitu loh. Bahasa kasarnya yang namanya ogah rugi dan itung-itungan itu ga gentleman huwakkk *disambit. Bukan, bukan perkara kita matre, ato ga punya doku buat bayar, tapi ya itu kembali ke pasal 1, asas gentleman (emang ada perundang-undangan gentleman?) haha.
Ok kita bahas soal budaya mereka mengenai asas BSS ini yak. Gue uda pernah bahas perkara ini ama beberapa cowok dari beberapa Negara Eropa. Rata-rata sama si ya budaya BSS ini bersumber dari kemandirian dan asas kesetaraan gender. Dimana pria dan wanita posisinya sama dalam hal apapun, termasuk dalam hal pekerjaan. Wanita bisa berprofesi sebagai tukang pemotong rumput dan pria bisa berprofesi sebagai pengasuh. Jadi intinya, pria bukan dipandang sebagai pelindung wanita, dan wanita itu tidak dipandang sebagai makhluk lemah. Sehingga wanita disini semua dituntut mandiri dan bisa melindungi dirinya sendiri setara dengan pria.
Jadiii kalo punya pacar bule tipe yang seperti ini ga bisa tuh manja-manjaan minta anterin jalan ke stasiun dengan alesan takut dan gelap. Yang ada bakal dikomentarin pedes “lu kan bukan anak kecil, punya kaki bisa jalan sendiri” *bikin sakit hati.
Sobat gue yang suaminya bule pernah minta jemputin suaminya di stasiun abis kongkow ma gue. Karena uda larut malam dan jalanan dari stasiun ke rumahnya agak jauh, sobat gue ini minta suaminya tungguin dia di stasiun. Agak manjaan dikit bolehlah ma suami sendiri. Tapi sebenarnya uda bisa ditebak jawabannya ,”enggak” titik koma amin.
Tapi, bukan berarti itu tanda ga cinta. Budaya suaminya emang begitu. Dan yang kedua, suaminya menganggap jalan dari stasiun ke rumah sendirian larut malam itu aman.
Punya pasangan bule umumnya mereka jujur utarakan apa yang mereka maksud. Kalo mereka kesal, capek, marah, ato ga setuju. Ga ada tu cerita drama kayak budaya kita yang “ga enak ngomongnya”. Meskipun seringnya kejujuran mereka itu bikin emosi tingkat dewa, kayak ga punya hati aja, kayak ngomong ga pake filter en bla bla bla. Seperti pengalaman gue kalo jalan ma mantan yang dulu itu tuh, gue jalannya agak lambat dan jalan dia cepet (padahal jalan gue uda yang paling cepet untuk ukuran orang Indonesia), nyeletuklah dia, “jalanmu lama amat, ama nenek gue masi cepetan nenek gue” *ebuseeeett.
Jadi jangan heran pula kalo jalan ama kaum bule yang seperti itu kita jadi sering ditinggal-tinggal jalannya. Apalagi kalo suda hiking ato trekking bareng Grrrrrrr, uda deh alamat bakal ketinggalan sendirian jauh dibelakang *ngeselin tingkat dewa. Gue pernah tuh waktu trekking di hutan, ngeselin banget kan, masi untung gue ga diculik beruang. Abis itu dia balik lagi si setelah nyadar gue ilang. Tapi gue kan uda bête ya, pasang muka bertekuk-tekuk macam baju kumel. Tapi tetep aja kok mereka ga akan ngerti hal-hal yang kayak gitu, dan ga dianggap sebagai suatu masalah. Yang ada malah ditanya,”muka kamu kenapa?” *padahal muka gue uda merah membara keluar asep-asep di telinga. Anak kecil aja pasti tau kalo gue lagi kesel. Ga sesintif amat si jadi bule.
Dan kalopun gue protes ,”bisa ga si jalannya dipelanin, dah kayak dikejar beruang aja”. Yang ada malah jadi debat kusir berkepanjangan Cuma untuk ngebahas hal yang sepele, “kenapa ga lu aja yang jalannya agak dicepetin”. Uda deh ngabisin tenaga kalo segala hal kayak begitu didebatin. Mendingan kalo niat mo trekking, trekking sendiri-sendiri ajah.
Di dalam budaya kita, wanita dianggap lemah dan makhluk yang patut dilindungi. Jadi ga heran kalo kaum pria akan berbondong-bondong membantu kita kaum wanita jika terlihat kesulitan atau membawa barang-barang berat sendirian. Dan kalo kamu tinggal di Eropa (sekali lagi terutama Swedia), kalo kamu bawa barang seberat apapun sendirian, ga akan ada yang nolongin kecuali kamu minta tolong. Karena itu, wanita dianggap mandiri setara dengan pria. Tapiiiii kalo kamu minta tolong, mereka pasti bantuin kok.
Nah kalo untuk urusan membina rumahtangga dengan bule, saran gue lu harus bener-bener jelasin apa yang kamu harepin dan bagaimana aturan mainnya bersama pasangan. Serius loh gue ini. Berhubung gue punya beberapa temen yang berkenalan singkat dengan bule via chat web dan chat messanger, kemudian ga lama nikah, banyak hal yang belakangan mereka protes. Atau ga sesuai dengan harapan mereka. Jadiii jangan sampai nanti belakangan anda menyesal. Seperti, anggaran uang belanja sebulan, dikasi uang jajan ga kalo istri ga kerja, mau punya anak berapa (mereka soal jumlah anak perhitungan banget karena disesuaikan dengan budget , ada loh yang ga mau punya anak), rencana tinggal di negara mana, trus anggaran untuk liburan atau mudik ke Indonesia, lalu diijinin ga masak masakan Indonesia di rumah (seriusan loh ini, banyak bule yang ga suka ma aroma masakan Indonesia yang tajem banget), dan lain-lain sesuai harapan anda dalam berumahtangga nanti.
Kedengarannya serem yak, haha engga juga si. Seperti saya bilang, saya Cuma mau kasi gambaran aja. Biar kalian liatnya ga Cuma enaknya doang. Dikira cuma enak doang jadi istri bule. Entar semaput lagi liat realitanya.
Bahkan di Swedia rata-rata suami dan istri bekerja. Gaji menjadi hak milik masing-masing. Untuk segala hal tentang biaya rumah tangga semua dibagi dua, mulai dari biaya sewa apartemen, kehidupan sehari-hari, belanja, ataupun untuk anak-anak. Bahkan ketika dinner di restaurant mereka bisa sepakat bayar sendiri-sendiri dan biaya makan anak dibagi dua. Dan itu sesuatu yang normal dalam budaya kehidupan mereka.
Kawan saya yang lahir dan besar di Swedia tetapi memiliki background keluarga Asia juga tidak bisa menerima budaya yang seperti itu. Padahal seumur hidupnya dia berada dalam kultur itu. Ujung-ujungnya dia menikah dengan seorang yang juga memiliki background Asia karena lebih sepaham dalam harapan membina rumah tangga.
Saya juga berkali-kali dengar komplen dari teman-teman saya (memiliki background Asia atau Negara Eropa yang budayanya cenderung ke asia) yang kencan dengan pria Swedia. Mereka pasti protes dengan kultur pria-pria itu. Padahal kawan-kawan saya ini kebanyakan lahir dan besar di Swedia pulak, masi protes juga. Ujung-ujungnya mereka mewanti-wanti diriku untuk ga usah pacaran atau menikah dengan pria Swedia daripada makan hati dengan budayanya hahaha.
Bahkan saya yang pernah tinggal di Swedia dan mengikuti irama kehidupan serta budayanya, masi sering geleng-geleng kepala sendiri. Tentang betapa berbedanya dengan budaya yang selama ini kita kenal. Jadi terkadang budaya yang berbeda 180 derajat itu masih agak sulit diterima dengan nurani. Sama halnya dengan mereka, yang terbiasa dengan budaya mereka, juga agak sulit menerima budaya kita yang mungkin menurut mereka aneh. Jadi jika kalian memutuskan untuk berkomitmen atau menikah dengan bule yang berbeda latar belakang dan budaya, kalian harus bisa berfikiran terbuka. Menerima perbedaan budaya pasangan dan dikomunikasikan. Jangan nanti ditinggal jalan ngambek, ga dijemputin di stasiun ngambek, ga dibawain tasnya yang berat ngambek. Itu suda menjadi bagian resiko memiliki pasangan bule. Meskipun ga semuanya seperti itu. Banyak juga loh sukanya punya pasangan bule, rata-rata mereka ga baper, ga cemburuan buta, romantis dan gentleman dengan cara mereka sendiri, ngebebasin pasangannya berkarir dan berpendapat, ga terlalu banyak ngatur-ngatur, dan lain-lain. So semoga bisa jadi referensi buat kalian.
Friday, September 9, 2016
Enak Gak-nya Tinggal Di Luar Negeri
Pengen ke Eropa katanya biar bisa liat salju, tapi percayalah liat salju berarti kamu setuju dengan resiko kedinginan. Sama seperti hidup di luar negeri, ga semuanya seenak yang kamu bayangkan. |
Gue yakin banyak diantara kalian yang berfikir enaknya bisa tinggal diluar negeri, bisa sekolah di luar negeri, atau punya suami bule dan tinggal di luar negeri. Padahal liat-liat luar negerinya juga yak, Timor Timur juga luar negeri. Kalo dikasi tau tinggalnya di luar negeri daerah Afrika, atau di Negara-negara Timur Tengah yang penuh konflik perang, responnya berbanding terbalik kalo tinggal di daerah Eropa. Huwakkkk. Umumnya pasti gitu kan.
Padahal ya orang-orang yang tinggal diluar negeri ini belum tentu merasa ‘seenak’ seperti yang dituduhkan masyarakat Indonesia umumnya. Ada banyak tuh postingan indahnya diluar negeri, jadi kali ini gue mo posting soal ga enaknya.
Tipe pertama adalah mahasiswa. Dikira enak, kuliah ga pake mikir, hidupnya cuma jalan-jalan, hura-hura bahagia. Pake mikiiiiirrr, kadang sampe stress ampun-ampunan. Apalagi mikirnya pan jadi double, karena bahasa yang digunakan bukan bahasa Indonesia. Kalo pake beasiswa kudu ada target nilai yang terpenuhi sesuai kontrak beasiswa masing-masing (modyar-modyar deh mikirnya). Belom lagi kalo pake biaya sendiri yang mepet, campur-campur deh sambil kerja sambilan yang biasanya menggunakan kekuatan fisik. Bayangin, lelah fisik (demi sesuap nasi*lebay) terus pulang harus belajar. Dikira kalo elu lulusan sarjana di tanah air bakal laku kerja kantoran di Eropa meskipun cuma part time? Susah meennn. Ya soalnya lembaga pendidikan di Indonesia kan mmmmm…gimana ya, dimata Eropa kan….ya gitu deh (kayaknya si karena mereka lebih yakin sama akreditasi lembaga pendidikan Eropa aja si yang sudah mendunia sighhh). Kecuali elu sangat menonjol sekali, cerdas seperti Albert Einstein, langsung direkrut deh *hakhakz lebay. Ya ga perlu sampe sebegitu cerdas-nya sik, ada yang memang beruntung meskipun peluang sangat kecil. Bukan, bukan maksud saya mematahkan semangat kuliah diluar negeri (bagi ynag berniat), saya hanya mencoba untuk membantu melihat realitanya, jangan sampe nanti uda ke medan perang ‘shock’ lagi.
Gue malah menganjurkan untuk bisa melanjutkan kuliah diluar negeri malah. Selain kalian punya ijazah dari universitas Eropa yang (katanya) cenderung bonafit, sangat membantu untuk karir kalian selanjutnya. Apalagi banyak sekali hal yang bisa kalian petik dan pelajari selama tinggal di Eropa. Tapi yaaaa itu, kecuali kalian anak konglomerat yang tinggal ongkang-ongkang kaki cuma perlu belajar doang (tanpa harus mikir sandang,pangan dan papan), selain itu kalian bener-bener harus belajar giat dan tekun bekerja. Sungguh (menurut saya) perjuangannya tidak mudah. Kerja part-time disini bisa jadi tukang cuci piring di restoran, pelayan kafe (kalo sudah fasih bahasa local), nanny, cleaning service, loper Koran, sampe jadi tukang bersih-bersih yang datang ke rumah-rumah. Bandingkan dengan kalian-kalian sarjana S1 yang kerjaannya di tanah air bisa duduk manis di depan komputer. Tapi ya itu, ga usah nyinyir dengan mindset kebanyakan orang Indonesia terhadap pekerjaan kasar atau kelas bawah seperti itu. Sudah pasti gaji mereka jauh lebih besar dibandingkan anda-anda yang duduk manis di balik komputer. Kalo kamu tipe orang yang anti kerja jadi buruh kasar, maka sebaiknya anda tetap di zona nyaman anda. Tapi sekali lagi, ga semua yang kuliah melakukan hal itu, tergantung dari kondisi keuangan masing-masing.
Nah lain lagi sama tipe kedua, orang-orang terpilih yang direkrut oleh perusahaan untuk penempatan di luar negeri. Saya pernah bertemu dengan orang-orang jenis ini. Orang-orang yang terpilih ini yaaaa rata-rata tipe jenius, dihargai sangat mahal untuk ilmu yang dimilikinya. Dan memang yang tipe begini agak langka kalo dibandingkan dengan total penduduk Indonesia. Menurut saya yang paling diuntungkan adalah istri/suami dan anak-anaknya haha. Kadang berandai-andai gue jadi anaknya, bisa dapat pendidikan diluar negeri dan hidup terjamin *ngayal. Ga usa ngiri, semua manusia suda ada jatah rejekinya masing-masing *tapi teteeep aja ngiri, kok bukan gue aja sik jadi anaknyaaa haha. Dan jujur, saya ga pernah ngiri untuk jadi istri mereka-mereka yang terpilih ini. Lah wong tipenya beda jauh ama harapan saya haha .Punya selera boleh dong. Padahal enak yak kerjaannya bisa leha-leha, tinggal diluar negeri, jalan-jalan, shopping-shopping, kipas-kipas duit (*dikeplak).
Selain tipe terpilih yang jenius ini, ada lagi tipe terpilih atas profesi yang lain seperti menjadi asisten rumah tangga, baby sitter, atau pekerjaan lainnya. Ga usa tanyalah ya gajinya. Bisa kalah deh yang kerja di tanah air lulusan S2 sekalipun.
Lalu tipe ketiga, menjadi istri bule *hoho demen nih kalo nyeritain yang inih, yang baca juga pasti lebih demen ma tipe ketiga *sotoy.
Dari begitu banyaknya penduduk Indonesia yang tinggal diluar negeri, menurut saya posisi istri bule lah yang jadi jawaranya. Maksud eike, jabatannya di kancah kehidupan sosial luar negeri (ngomong apa si gue). Di antara perkumpulan-perkumpulan makhluk Indonesia (dikire alien) di luar negeri yang gue sambangi, jabatan sebagai istri bule lah yang menempati urutan teratas, alias 90% dari total anggota perkumpulan (berdasarkan pengamatan saya semata). Memang kalo dibandingin 2 tipe diatas sik, paling mudah untuk tinggal diluar negeri adalah sebagai istri bule. Uda tinggal diluar negeri, punya suami bule, memperbaiki keturunan pulak huwakkk. Eits, tapi bukan berarti lantas jadi istri bule hidupnya cuma hura-hura bergembira yak. Ada yang bahagia ever after, tapi banyak pula yang kisah hidupnya kek drama panjaaaannggg macam sinetron tersanjung sampe episode 7 *lebay ini sik. Penuh derai air mata *eh yang ini seriusan loh.
Dari hasil bergaul dengan para istri bule di beberapa Negara dan kota, ternyata jadi istri bule ga ngejamin hidupnya bisa semulus kulit pisang. Penuh perjuangan juga bok. Mulai dari memahami budaya yang berbeda, kendala bahasa, suhu dan cuaca yang berbeda, apalagi menghadapi kondisi keuangan yang ga seenak apa kate orang Indonesia (umumnya) kira. Iya, dikira kalo bersuamikan bule berarti kaya? Tidak. Biasanya kaum bule yang sudah mapan hidupnya (aka kaya) adalah yang sudah berusia cukup tua dan biasanya statusnya duda. Dan fakta lain yang saya ketahui meskipun tidak seratus persen benar adalah mereka baru memikirkan menikah diatas usia 30tahun. Meskipun ada juga yang saya kenal menikah masih berusia dibawah 30 tahun *agak langka,ciyus deh.
Lalu apakah istri-istri bule ini cuma lenggang-lenggang kangkung menikmati hasil jerih payah suaminya? Tidak juga. Fakta di lapangan sesungguhnya sangat mengejutkan saya, sebelum akhirnya saya terbiasa dengan irama kehidupan yang seperti itu. Karena saya sempat tinggal di Swedia, jadi saya cuma bisa mengkategorikan uraian saya ini berlaku untuk wilayah Negara Swedia umumnya. Meskipun kemungkinan besar kehidupan menjadi istri bule di Negara Eropa lainnya cenderung sama, saya ga berani menyamakan. Jadi berdasarkan pengamatan di Negara yang sempat saya diami saja. Negara Swedia ini benar-benar menganut kesetaraan gender, dimana posisi wanita dan pria memiliki hak dan status yang sama dalam berbagai hal. Baik wanita dan pria dituntut mandiri dalam berbagai hal. Tidak ada yang namanya pekerjaan laki-laki ataupun pekerjaan perempuan. Jangan heran kalo kalian banyak ngeliat papa-papa ganteng sendirian ngangon bayi ataupun anak-anaknya di taman. Atau jangan heran kalau liat perempuan kece bak model jadi tukang pemotong rumput di taman tengah kota. Perempuan disini bisa melakukan apa yang kalo di Negara kita sebut pekerjaan laki-laki, begitupula sebaliknya.
Ada sebagian istri-istri bule ini yang dikasi uang jajan, tapi ada juga yang kagak. Malah sebagian besar sih kagak. Memang untuk biaya rumah tangga dibiayain, tapi kalo uang jajan cari sendiri-sendiri. Dan seperti biasa untuk menjadi pekerja di Negara maju yang super duper mahal ini, meskipun ijazahmu S1 lulusan tanah air, ga akan berguna disini. Kamu tetap akan bekerja dari nol, yup sekolah lagi. Disini semua kerjaan ada sekolahnya, heran juga gue kadang. Bahkan sekolah khusus cleaning service. Jadiiiii rata-rata kerjaan pertama yang dilakukan para istri yang mencari uang jajan adalah cleaning service, pelayan kafe atau resto, dan yang lain-lain model gitu deh. Tapi tenang aja, semua itu digaji mahal. Sama mahalnya kayak kalo mo jajan disono. Bisa nyesek kalo dirupiahin.
Soal tempat tinggalpun, orang kaya akan tinggal di rumah sendiri yang berdiri diatas tanah. Kalo orang yang biasa aja ya tinggal di apartemen. Luasnya dan lokasi apartemen pun ikut merepresentasikan seberapa kayanya penghuninya hoho. Dan saya sempat shock betapa kecilnya apartemen disana yang harganya tetep aja mahal luar biasa. Kadang mikir, masi gedean kamar kos saya di Surabaya dulu. Bahkan untuk tipe rumah orang kaya, kadang gue berfikir, masi gedean rumah bokap gue di Indonesia *padahal bokap gue kagak kaya.
Jadi sudah bisa dipahami kan. Ga selamanya jadi istri bule itu enak melulu. Tantangannya banyak, perbedaan budaya, perbedaan cuaca (sumpah kedinginan tu ga enak), belum lagi kalo kudu kerja, belom lagi kalo kangen makanan indo, kangen ma enyak babe, hedeee banyak deh. Keras broooo hidup di Negara orang. Isinya ga cuma yang enak-enak doang.
PS berdasarkan pengamatan dilapangan. Ga semua hal berlaku sama. Saya cuma mo kasi gambaran sisi ga enak-nya tinggal di luar negeri. Kadang-kadang berasa nangis darah *lebay padahal gara-gara harga cabe rawit di eropa selangit!.
Subscribe to:
Posts (Atom)