Victoria Park, Hongkong (dok pribadi) |
"Heehh mbabu nang ndi koe?"
Aku melongo waktu ditanya begitu sama seorang TKW berbodi mungil berlogat jawa medok di Victoria Park. Lalu bergumam tak mengerti, "mbabu..??"
Setelah beberapa detik otakku baru nyambung kalo aku disangka jadi TKW juga sama sperti mereka.
Ku timpali dengan sedikit bahasa Jawa yang ku ketahui, "Kenapa pake bahasa babu seeeeh, kerjo ngono loh".
Dia si berbadan mungil tak memperdulikan perkataanku malah bertanya lagi, "mbabu nang ndi kok?"
Ku jawab, "aku ga kerja disini"
Dia tanya, " Lah terus?"
Ku jelasin, "cuma jalan-jalan"
Ditanya lagi, "Terus temen-temennya mana?"
Ku jawab, "Cuma jalan sendiri"
Seraya takjub, "Ahhhh, mbojok koeeee"
Ku timpali,"Loh kok ga percaya"
Dia bilang, "ga mungkin melaku-melaku dewe"
Ku jawab, "Emangnya kenapa kalo jalan sendiri"
Dia timpali lagi, "Ya ga mungkin jalan-jalan sendiri kesini, emangnya ga nyasar"
Ku jawab, "Engga"
Terus masi penasaran dia tanya sambil mengulurkan tangannya, "Coba seh sapa namanya"
Ku jawab sambil menggenggam jabatan tangannya, "Lenny"
Dengan takjub dia berteriak, "Wooooo iyo eh ga mbabu de'e, tanganne alus ngene"
Aku masih terkaget-kaget dengan histeria gadis mungil itu. Begitu terkejutnya ia ketika mengetahui kalau aku ga 'mbabu' di hongkong tapi cuma jalan-jalan sendirian.
Sambil minta uang cilok enak 2 bungkus seharga 20 dolar hongkong yang dijualnya, dia masi tanya-tanya gimana caranya aku bisa nyampe hongkong sendiri tanpa pake agen tour. Dengan heran dia geleng-geleng sambil bergumam, "pasti kamu orang kaya ya"
Aku cuma tersenyum kecut.
Ogah-ogahan mau memperpanjang cerita gimana aku bisa nyampe hongkong tanpa harus jadi orang kaya.
Kemudian setelah memastikan kalau aku bukan 'babu', si cewek mungil penjual cilok ini minta ijin foto denganku, menggunakan handphonenya yang cukup canggih. Perawakannya yang kurus dengan rambut cepak membuatnya lebih mirip pria. suaranya lah yang membuatku yakin bahwa dia perempuan.
Berulang kali dia mengagumi foto yang barusan diambil itu sambil berujar ke mbak Ayu, TKW lain yang duduk sebangku di taman, "Ayune yo mbak iki".
Tak berapa lama pun dia pamit untuk mengambil cilok lagi di rumah majikannya yang katanya dekat taman ini. Mbak Ayu pun mencegahnya kabur, karena dia masih penasaran rumah majikannya dimana. Di sekeliling kita hanya gedung-gedung bertingkat, yang itu berarti hanya ada apartment dan flat-flat yang menjulang. Dan gadis mungil itu hanya menunjuk ke arah gedung-gedung sekitar taman, seolah hanya asal tunjuk.
Tapi gadis itu lebih gesit untuk melepaskan diri dari mbak ayu yang jauh lebih tinggi.
Setelah gadis itu kabur dengan penuh kemenangan, aku bertanya ke mbak Ayu, TKW asal Jawa Timur yang sudah bertahun-tahun tidak pulang,"Dia tinggal dimana mbak?"
Mbak Ayu malah berujar, "Itu dia. Dia bilang deket sini, tapi aku gak yakin."
Kutoleh kepalaku ke arah gedung yang sebelumnya gadis mungil itu tunjukkan, entah itu gedung flat atau apartment. Tapi sepengetahuanku, di Hongkong harga tanah sangat mahal. Bahkan artis terkenal pun belum tentu mampu beli tanah sendiri. Jadi, kebanyakan yang mampu mendatangkan dan memperkerjakan pengurus rumah tangga, adalah mereka yang sudah punya rumah di tanah sendiri. Penghuni apartment ataupun flat jarang memiliki pengurus rumah tangga yang gajinya cukup besar itu.
mba ayu |
Hal itu juga diamini oleh mbak Ayu. Mba Ayu sendiri bekerja di sebuah rumah villa di pinggir pantai dengan pemandangan cantik. Majikannya adalah pengusaha sukses, oleh karena itu mampu beli tanah sendiri di Hongkong yang sempit ini.
Makanya mbak Ayu agak gak yakin ketika gadis mungil itu menunjukkan rumah majikannya diantara gedung-gedung itu. Entah dia TKI ilegal, atau memang majikannya tinggal diantara gedung-gedung itu.
Mbak Ayu bercerita, ada banyak TKW disini yang melarikan diri dari majikannya karena tidak suka terikat kerja, atau ketika kontrak kerja sudah habis mereka masih tetap ingin tinggal di Hongkong. Kebanyakan dari mereka lebih suka hidup disini karena lebih aman dan nyaman, penghasilan tinggi, dan lebih modern.
Kebanyakan orang-orang seperti itu bekerja dengan menjual makanan Indonesia, seperti jamu, cilok, nasi kuning, pecel, nasi campur dan lain lain. Biasanya dijual di taman Victoria ini, karena TKW Indonesia berkumpul disini.
Aku jadi teringat cilok yang kubeli per bungkus kecil seharga 10 dolar hongkong, kalo dirupiahin bisa nyampe 18 ribu. Malah aku beli 2 bungkus, sangking kangennya makan makananan Indonesia, setelah beberapa hari tidak punya pilihan lain selain makan fast food. Tapi kuakui, meskipun mahal rasanya sungguh lezat, bumbu kacang dan ciloknya yang masi hangat benar-benar menyatu. Bukan karena aku kelaparan, tapi memang buatannya enak.
Sejenak aku merasa bersyukur ada yang jualan makanan seperti itu disini, setidaknya dijamin halal.
Tapi seperti cerita mbak Ayu, karena orang-orang yang seperti ini pula, polisi sering melakukan razia, terutama di taman ini, merazia TKI-TKI bandel.
Pantasan aja, sewaktu tiba di Imigrasi Hongkong, pegawai imigrasi memandangku dengan tatapan yang menyelidik setelah menerima passportku. Dan menanyakan segala hal dengan detail mulai passport, tiket pulang, dan tempat tinggal. Bahkan dia minta aku menunjukkan semua tiket penerbangan yang kubawa untuk perjalanan ini sampai pulang.
Rupanya, dia khawatir aku menjadi TKI ilegal. Tapi cara tatapannya sungguh membuatku seperti kriminal. Dari negara-negara yang aku datangi, cuma di kantor Imigrasi ini aku merasa sebagai orang tertuduh. Bahkan untuk basa basi sapa menyapa saja tidak ada. Daripada bertanya dengan mulut, dia lebih suka membaca sendiri berkas-berkas perjalananku.
Memang memeriksa dokumen adalah tugas mereka. Menentukan mana yang boleh masuk, mana yang tidak untuk keamanan negara. Tapi bukan berarti lantas diselidik dengan tatapan yang sama sekali membuat tidak nyaman. Apalagi ketika kita tidak melakukan kesalahan apapun. Bukankah turis adalah tamu yang turut membantu menaikkan perekonomian negara yang dikunjungi. Atau apakah karena aku pemegang passport Indonesia, yang TKI-nya banyak yang bandel-bandel...
Victoria Park menjelang siang semakin ramai. Ada banyak sekali TKW yang juga duduk-duduk santai bercengkerama dengan TKW lain. Cukup aneh mengingat hari ini bukan hari libur. Kalo mbak Ayu memang sengaja minta ijin pada majikannya untuk libur hari Senin karena ada yang mau dia urus di Bank. Menyenangkannya, disini juga cukup banyak dibuka Bank dari Indonesia seperti BNI dan Mandiri.
Telingaku juga mendengar bahasa-bahasa yang sangat familiar di taman ini. Bahasa yang sangat kukenali ketika aku masih kuliah dulu, bahasa Jawa! Disamping kanan kiri depan belakang, banyak TKW yang duduk-duduk sambil menyantap makan siang dan bercengkerama bahasa jowoan. Mereka makan menu masakan Indonesia, bahkan ada pula yang santai-santai ngobrol menaikkan kaki ke kursi sambil ngerujak. Mbak Ayu bilang, rata-rata mereka memasak di rumah dan membawa ke taman ini untuk dimakan bersama-sama TKW yang lain. Seperti piknik.
Tapi sepertinya orang-orang yang berada di taman ini hampir semuanya berpiknik. Masing-masing membawa makanan yang kemudian dimakan sambil duduk-duduk di bangku taman. Bukan hanya para TKW, tapi juga turis berambut pirang, orang-orang Timur Tengah, serta orang cina. Termasuk aku dan mbak ayu.
Kalau mbak Ayu sendiri ga sempat masak, jadi dia beli nasi campur bungkusan di warung Indonesia yang letaknya tidak terlalu jauh dari Victoria Park. Andai aku tahu letak warung itu sebelumnya, pasti aku membeli makanan dari situ.
Aku juga membawa makanan. Aku beli beberapa snack, buah blueberry dan juga roti dari supermarket lumayan besar di seberang taman. Bahkan sangking gelap mata, ingin ku beli beberapa jenis buah sekaligus di supermarket itu, karena jika dijual di Indonesia harganya jadi meroket. Seperti buah blueberry, dan berkotak-kotak buah anggur jumbo berbagai warna. Untung logika ku masih bisa jalan. Siapa yang akan menghabiskan buah sebanyak itu, membawanya saja sudah berat. Padahal masih ada beberapa tempat yang ingin kudatangi.
Uniknya harga buah-buah itu berbanding terbalik dengan singkong. Aku sempat menemukan ketela pohon alias singkong ditata apik di etalase supermarket, dengan harga yang jauh lebih mahal dibandingkan buah blueberry yang dijual disini. Di Hongkong, singkong menjadi makanan mahal. Tempat menjualnya pun bukan diatas kain kumal pinggir jalan seperti yang biasanya ku lihat di Indonesia. Mereka tampak elegan disana, berjajar dengan makanan-makanan mahal lainnya. Entah bagaimana aku tersenyum bangga, melihat singkong itu disana. Akhirnya aku tau, singkong tidak selalu identik sebagai makanan orang kampung.
Sambil menyantap makan siang kami, kami berbagi banyak cerita. Termasuk mendengarkan curhat mbak ayu soal kekasihnya yang bekerja sebagai TKI di Korea Selatan.
duofie bareng mba ayu |
Dia juga memasang foto-foto gaulnya di pic profile akun messanger. Siapapun yang melihatnya, tak akan pernah menyangka bahwa dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Setelah lama berbincang dengannya, baru kusadari dia membawa koran berbahasa Indonesia yang diselipkan didekat tasnya. Aku merasa takjub bagaimana dia mendapatkan koran itu.
"Ohh, ini ada banyak di KBRI dan Bank-bank Indonesia mbaakk. Disediakan gratis. Ada lumayan banyak koran-koran berbahasa Indonesia di Hongkong kok", ujar mbak Ayu.
Dia lantas menyebutkan satu per satu koran bahasa Indonesia yang ia ketahui diproduksi disini. Tapi pada akhirnya tak ada satupun yang ku ingat.
Ku baca setiap halaman koran itu. Isinya seputar para TKW Indonesia di Hongkong. Ada kisah sedih, ada juga kisah sukses. Ada TKW yang melarikan diri dari majikannya karena dianiaya. Ada pula TKW yang terkena kanker tetapi tidak dibiayai pengobatannya oleh majikan, karena bukan jenis penyakit yang diasuransikan oleh majikannya. Ada juga kisah sukses TKW yang bekerja sebagai pengurus rumah tangga pada siang hari dan kuliah pada malam hari. Ada juga yang setelah bekerja di Hongkong sekian lama menjadi wiraswasta sukses.
Selain itu, ada banyak sekali iklan jasa penyalur tenaga kerja ke majikan baru di Hongkong dengan berbagai kelebihan agen masing-masing. Sehingga jika sudah habis kontrak kerja, bisa dibantu agen untuk mendapatkan majikan baru.
Aku pun jadi penasaran menanyakan beberapa hal ke mbak Ayu. Untungnya kami cepat akrab, jadi bisa menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang lebih privacy. Apakah senang kerja disini? Apakah majikannya baik dan tidak pernah kasar? Berapa standart gaji disini?
Mbak Ayu dengan santai menjawab, "Dibilang betah ya betah mbak. Sudah 3 tahun belum pernah pulang. Hidup disini benar-benar nyaman. Tidak khawatir dengan jambret atau copet. Aman jalan-jalan sendiri. Transportasinya mudah. Gaji besar. Dan majikan saya sangat baik. Tapi meskipun gaji besar, kita juga harus pinter-pinter pegang duit, karena kalau tidak sama saja. Karena biaya hidup disini juga sangat mahal".
Mungkin mbak Ayu termasuk dari segelintir TKW yang beruntung mendapatkan majikan baik. Jadi setelah beberapa tahun kontraknya dilanjut terus.
"Kalo ditanya soal gaji sih, standart gaji paling rendah di Hongkong 9000 dolar Hongkong", tambah mbak Ayu.
Wow, menggiurkan. Pantasan banyak yang betah kerja disini. Pantasan pula banyak TKW yang telah jadi orang kaya di kampungnya.
Tapi dia sempat mengeluh, giginya terasa sakit sudah sejak lama. Waktu kutanya kenapa tidak berobat, katanya berobat di Hongkong sangat mahal, karena perawatan gigi tidak termasuk ke dalam asuransi kesehatan yang diberikan oleh majikannya.
Aku jadi teringat berita di koran yang dibawa oleh mbak Ayu. Seorang TKW menderita kanker payudara dan harus segera di operasi. Tetapi terkendala oleh majikannya yang menolak untuk membiayai pengobatan, karena tidak termasuk ke dalam biaya yang di cover oleh asuransi. Dan kuasa hukum TKW tersebut sedang memperjuangkan hak kliennya untuk mendapatkan pengobatan full dari majikannya. Karena dicover atau tidaknya oleh asuransi kesehatan, sang majikan tetap berkewajiban untuk memelihara kesehatan pekerjanya.
Lantas mbak Ayu berujar, "Mungkin baru bulan depan saya bisa berobat ke dokter gigi, karena bulan depan saya pulang ke Indonesia 1 bulan. Dokter gigi di Indonesia jauh lebih murah".
Ya, dimana penghasilan rata-rata lebih tinggi maka standart hidup lebih mahal. Dimana penghasilan rata-rata lebih rendah maka standart hidup lebih murah. Hukum alam. Sungguh ironi, jika untuk berobat saja harus tunggu pulang ke Indonesia.
Hidup di daerah berpenghasilan tinggi memang tidak selalu menyenangkan.
To be continued...